Written by Dinan Afifah and Tiur N. Raharjo
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Sejarah China sangat terkenal di dunia
dan memiliki perjalanan yang sangat panjang, terbukti dengan adanya buku “Buku
Besar Sejarah”. Proses pengumpulan dan penyusunan buku referensi penting ini
dimulai pada permulaan zaman Dinasti Manchu (1644-1912) yang di dalamnya
termuat semua cerita tentang zaman purbakala yang ditulis sekitar 500 SM
(Wiriaatmadja, 2004: 40).
China sejak lama telah melakukan
perdagangan ke luar daerahnya dan terkenal sampai ke daerah Barat dengan komoditas-komaoditas
utamanya seperti teh, porselen, dan sutera. Jalur perdagangan darat yang
menghubungkan China dan dunia barat—yang terkenal itu—sudah ada sejak zaman
Dinasti Han Barat, sekitar abad ke-2 SM. Sehingga China sejak lama sudah
mendunia (Wicaksono, 2011: 1).
PENGARUH PERANG CANDU TERHADAP KERUNTUHAN PERADABAN CHINA
PENGARUH PERANG CANDU TERHADAP KERUNTUHAN PERADABAN CHINA
(Sumber foto: www.hariansejarah.id)
Perang Candu Cina
Hubungan perdagangan dengan bangsa Barat membuat China pedagang-pedagang atau sudagar-saudagar saling mengunjungi dan bangsa Barat pada saat itu memandang China hanya emporium saja. Namun saat Konstantinopel dikuasai Islam akibat Perang Salib membuat kota sebagai pasar utama dari bertemunya barang dagangan dari Barat dan Timur tersebut ditutup untuk kaum nasrani yang notabene bangsa Barat. Hal ini membuat bangsa Barat melakukan penjelajahan untuk mencari barang dagangan langsung dari daerah penghasilnya.
Selain itu karena adanya reformasi
gereja, yang membuat bangsa barat ingin membuktikan dunia ini bulat yang
dikemukakan galileo galilei sejak lama mendorong bangsa barat melakukan
penjelajahan.
Didorong pula sistem ekonomi
Merkantilisme yang sedang berkembang di dunia barat membuat mereka ingin
mencari negeri jajahan untuk mengeksploitasi sumber daya alam, terutama logam
murni—emas dan perak. Kemudian perkembangan bangsa Barat yang telah terjadi
revolusi industri berdampak ledakan penduduk dan sumber produksi membuat mereka
ingin menerapkan imperialisme dan kolonialisme di negeri jajahan.
Negara pertama yang melakukan penjelahan
jalur laut adalah Portugis/Potugal, dengan Vasco da Gama yang pertama mencapai
India. Portugal bahkan berhasil mencapai pantai China Timur pada tahun 1514
(Wicaksono, 2011: 2). Menyusul Spanyol dan Belanda serta Inggris. Namun
tidaklah mudah menerapkan imperialisme dan kolonialisme di negeri Tirai Bambu
ini karena adanya pemerintahan kekaisaran yang bersifat despostis-absolut dan merasa menjadi pusat kebudayaan dunia. Selain
itu karena adanya pertentangan antar bangsa Barat itu sendiri.
Akhirnya Inggrislah yang mampu
menundukkan China dengan perjanjian Nanking akibat Perang Candu. Perang Candu
ini dilatarbelakangi penyelundupan candu ke China oleh Inggris. Tentu ini
membuat China geram. Latar belakang Perang Candu, proses peristiwa perang,
dampak Perang Candu, serta dampak Candu bagi kehidupan sosial, ekonomi, dan
politik akan dibahas dalam makalah ini.
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan pokok pikiran diatas,
terdapat masalah utama yang menjadi kajian penulisan makalah ini, yaitu:
“Perang Candu I sebagai bagian dari keruntuhan Peradaban China”. Untuk lebih
memfokuskan masalah dari masalah utama maka penulis membatasi permasalahan yang
dirumuskan dalam beberapa pernyataan sebagai berikut:
a. Bagaimana
masalah penyelundupan candu di China?
b. Bagaimana
latar belakang Perang Candu I?
c. Bagaimana
proses terjadinya Perang Candu I?
d. Bagaimana
dampak dari Perang Candu I?
1.3
Tujuan
dan Manfaat
Tujuan
dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Sejarah Peradaban Timur, sedangkan tujuan secara khususnya adalah:
a. Menjelaskan
masalah penyelundupan candu di China.
b. Menganalisis
latar belakang Perang Candu I.
c. Mendeskripsikan
proses terjadinya Perang Candu I.
d. Menganalisis
dampak dari Perang Candu I.
1.4
Sistematika
Penulisan
Sistematika
penulisan yang disusun penulis untuk mempermudah memahami makalah ini adalah
sebagai berikut:
BAB
I, Pendahuluan. Membahas mengenai
latar belakang penulisan, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan penulisan,
metode dan teknik penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB
II, Candu dan Perang Candu I. Membahas mengenai permasalahan yang
di kaji oleh penulis, juga merupakan uraian penjelasan terhadap aspek-aspek
yang ditanyakan dalam perumusan masalah.
BAB
III, Kesimpulan. Membahas kesimpulan penulis yang dapat ditarik dari pembahasan
masalah, yaitu berupa hasil temuan dan pandangan penulis, serta jawaban
terhadap masalah-masalah secara keseluruhan dari permasalahan yang dikaji
mengenai pandangan penulis terhadap “Perang Candu I sebagai bagian dari
keruntuhan Peradaban China”.
BAB II
CANDU DAN PERANG CANDU I
2.1 Masalah Candu di China
Candu
sudah dikenal di China jauh sebelum masuknya Bangsa Barat. Bangsa China sudah
lama menggunakan Candu sebagai obat namun keberadaannya yang semakin meluas dan
tidak terkendali adalah setelah masuknya Bangsa Barat di China yang akan
dibahas lebih lanjut.
2.1.1 Keberadaan Candu
di China pada masa dinasti Qing
Banyak sumber referensi yang membahas
mengenai keberadaan Candu di China dan perdagangannya yang illegal. Dalam
bahasan ini penulis mencoba menggunakan tiga pendapat yang menjelaskan mengenai
keberadaan Candu di China. Wicaksono (2011)
menjelaskan bahwa candu pertama kali masuk ke China pada abad ke-7 atau
ke-8 melalui pedagang Arab dan Turki yang memperoleh candu dari menyadap
tanaman Papaver somniferumm yang
tumbuh di Timur Tengah dan India. Kegunaan pada abad ini hanya sebagai obat
tidur saja. Wiriaatmadja (2004) dalam “Sejarah dan Peradaban Cina” menjelaskan
bahwa masyarakat China mulai mengenal dan menggunakan candu sejak abad ke-13.
Pendapatnya sejalan dengan sumber informasi dari internet yang menjelaskan
bahwa candu sudah ada di China sejak
abad ke-13 yang digunakan sebagai bahan obat-obatan. Pada waktu itu candu
disebut juga dengan istilah “fu-shau-kao” yang berarti obat kebahagiaan dan
panjang umur. Sedangkan Taniputra (2009) dalam “History of China” menjelaskan
bahwa bangsa Tionghoa telah mengenal candu pada sekitar abad ke-15.
Jauh setelah China mengenal adanya candu
sebagai bahan obat-obatan, pada sekitar abad ke-18 Inggris melakukan
perdagangan candu dengan China yang membawa dampak negatif bagi masyarakat
China. Ada beberapa faktor yang menyebabkan EIC bercokol di China untuk
melakukan perdagangan candu. Diantaranya adalah pedagang Inggris kehabisan
perak sebagai alat tukar untuk membeli komoditas sutera dan teh di Guangzhou
sehingga Inggris mengalami defisit; dan Inggris melihat adanya keuntungan yang
luar biasa bangsa India di bawah Kerajaan Mughal (semenjak pemerintahan Akbar,
1556-1605) yang melakukan perdagangan candu illegal melaluui China Selatan.
Kedua hal tersebutlah yang mendorong pedagang Inggris untuk melakukan
perdagangan candu.
Seperti yang sudah diketahui bahwa opium
memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positifnya dapat digunakan dalam
dunia medis sebagai penawar rasa sakit dan menekan aktivitas psikologi yang
dapat menyebabkan tubuh tak sadarkan diri, namun semua itu digunakan dalam
dosis tertentu. Di China sendiri opium digunakan sebagai obat kebahagiaan dan
panjang umur. Sedangkan dampak negatifnya, pengguna bisa mengalami kekacauan
pada saat berbicara, kerusakan penglihatan pada malam hari, kerusakan pada hati
dan ginjal, risiko terkena virus HIV, hepatitis, dan penyakit infeksi lainnya
makin meningkat, penurunan libido, kebingungan dalam identitas seksual, hingga
kematian karena overdosis (http://anekaplanta.wordpress.com/2007/12/26/opium-keindahan-yangmemabukkan/).
Sedangkan menurut Wicaksono (2011) candu
menyebabkan ketergantungan yang berat, dan pecandunya akan menjadi lemah dan
malas. Para pecandu jarang melewati usia 50 tahun, dan pecandu berat hanya
punya usia harapan hidup 5 tahun semenjak pertama kali menghisap candu. Di
Fujian dan Guangdong pada masa dinasti Qing di bawah kekuasaan Shunzhi
(1644-1661) sudah mengenal merokok opium yang diperkenalkan oleh Spanyol.
Pecandu yang terlibat pun terdiri dari berbagai kalangan, seperti para pejabat
atau orang kaya dan kaum buruh. Dampaknya mereka mengeluarkan biaya yang cukup
besar untuk memenuhi kebutuhan mereka akan candu. Para pejabat mampu membeli
candu namun nampaknya kaum buruh tidak seberuntung pejabat karena mereka harus
menghabiskan dua pertiga penghasilannya untuk membeli candu, sehingga membuat
penghidupan keluarga menjadi terabaikan (Wicaksono, 2011: 214). Wiriaatmadja
(2003) menjelaskan bahwa candu dapat merusak kesehatan rakyat dan merugikan
keuangan Negara.
2.1.2
Ajaran Confusianisme mengutuk keberadaan candu yang sifatnya merusak.
“seseorang mempunyai tugas dan hutang
pada nenek moyangnya, dimana tubuhnya diberikan padanya oleh nenek moyangnya
sebagai penghubunga antara dirinya dengan para leluhurnya. Maka dari itu
merusak kesehatan dan tubuh adalah suatu pelanggaran dan pelakunya dianggap
tidak berbaktikepada leluhur.” (Wicaksono, 2011: 215)
Peredaran Candu di China nampaknya makin marak
setelah adanya beberapa larangan impor langsung dari pihak istana. Bahkan pada
tahun 1820 terdapat 9.708 peti candu yang diselundupkan ke China. 15 tahun
kemudian jumlah pasokannya menjadi 4 kali lipat. Dalam perkembangannya tempat
penyelundupan candu akan berpindah ke Pulau Lintin di Muara Teluk Guangzhou.
Disinilah para penyelundup bebas melakukan aksinya karena jauh dari jangkauan
pemerintah China. Pulau Lintin mendapatkan candu yang dikirim oleh pedagang
Inggris yang merupakan panenan dari India sekitar 140 pon (±79 kg) candu dan
dibentuk seukuran buah anggur (Wicaksono, 2011: 220) Bukan hanya di Lintin saja
yang menjadi tempat untuk melakukan perdagangan candu, tetapi sudah menyebar
dari Guangzhou ke Shantou, Xiamen, Zhangzhou dan Huian, Fuzhou, Hangzhou dan
Shanghai. Para Yaokao (pedagang narkotika) mengangkut candu dan membawanya ke
Jiangxi dan Guizhou, ke Timur sampai ke Fujian, dan ke Utara samapai ke Henan,
Jiangxi, Anhui dan Shaanxi (Wicaksono, 2011: 223). Di awal disebutkan bahwa
Fujian dan Guangdong telah mengenal rokok opium. Hal tersebut diperparah pada
tahun 1830 dengan perbadingan 9 dari 10 orang yang menjadi pecandu.
Orang-orang yang terlibat dalam penyelundupan candu
bukan hanya pedagang Inggris saja, tetapi banyak sekali oknum dari bangsa
China-bahkan pejabat yang ikut terlibat didalamnya. Keterlibatan mereka bukan
saja dalam hal jual menjual candu, namun ada beberapa dari mereka yang
melakukan korupsi dan berkhianat pada istana. Hal ini memberikan kesan seolah
pejabat dinasti Qing mempunyai mental korup dan kebobrokan moral.
Pejabat-pejabat di Guangzhou yang seharusnya bertugas memberantas penyelundupan
candu, malah mengumpulkan ”sampel gratis” untuk dibagikan kepada atasannya
sampai ke istana kaisar. Wicaksono (2011) menjelaskan bahwa pada tahun 1813,
kaisar menemukan beberapa pengawal pribadi dan kasim istana menjadi pecandu
opium.
2.1.3 Pemberantasan
Candu
Semakin maraknya peredaran Candu di
China tidak lantas membuat pihak istana duduk di kursi saja. Pihak istana
melakukan pemberantasan dengan cara melarang impor candu dengan cara
“hati-hati”, mulai dari dikeluarkannya dekrit kaisar, memerintahkan
pejabat-pejabat untuk ikut memberantasnya. Selain itu muncul sosok Lin Zexu
sebagai pemberantas penyelundupan candu dengan caranya yang “agresif”. Namun
semua usaha pemberantasan ini mendapat tanggapan positif dan negatif dari
kalangan pedagang candu illegal.
Usaha awal pemeberantasan yang dilakukan
oleh pihak istana adalah dikeluarkannya dekrit. Pada tahun 1729 Kaisar
Yongzheng bertindak dengan melarang mengimpor candu kecuali untuk pengobatan.
Larangan ini nampakanya tidak bisa menghentikan impor candu ke China. Maka pada
tahun 1799 kekaisaran dibawah pemerintahan Kaisar Jiaqing mengeluarkan dekrit
baru lagi yang berbunyi:
“..orang
asing tentu saja mendapatkan keuntungan dan laba yang besar, namun bila rakyat
kita harus mengejar kesenangan yang merusak dan berbahaya ini, maka hal
tersebut pastilah menyedihkan dan tercela..” (Wicaksono, 2011: 215)
Menurut Taniputra (2009) untuk melarang impor candu
ke China pada tahun 1810 Kaisar Jiaqing mengeluarkan titah yang berbunyi:
“candu
memiliki pengaruh yang sangat merusak. Ketika seseorang mencandu menghirup
asapnya, memang benar itu akan membuatnya merasa senang dan [merasa] sanggup
melakukan apa saja yang menyenangkannya. Tetapi lambat laun, itu akan
membunuhnya. Candu adalah racun, bertentangan dengan tradisi dan moralitas kita
yang baik. Penggunaannya dilarang oleh hukum. Kini seorang bernama Yang telah
berani membawanya ke Kota terlarang. Sehingga tentu saja ia telah melanggar
hukum! Meskipun demikian, dewasa ini perdagangan dan konsumsi candu telah
meningkat dengan pesat. Para pedagang yang curang membeli dan menjualnya
demimendapat keuntungan [pribadi]. Kantor bea cukai Pelabuhan Gerbang Zhongwen
aslinya didirikan untuk mengawasi barang-barang impor (tetapi tak berdaya dalam
menghadapi penyelundupan candu ini). jika kita melakukan razia terhadap candu
di pelabuhan-pelabuhan, dikahawatirkan bahwa hal ini masih belum memadai.
Karenanya, kami juga memerintahkan para petugas keamanan di kelima gerbang
untuk melarang candu dan merazianya di seluruh gerbang. Jika para pelakunya
terungkap, maka mereka harus segera dihukum dan candunya secepatnya
dimusnahkan. Sehubungan dengan provinsi Guangdong dan Fujian, yakni provinsi
tempat masuknya candu, kami memerintahkan para raja muda, guburnur dan kepala
bea cukai maritime untuk melakukan pencarian yang menyeluruh terhadap candu,
serta memotong rantai penyelundupannya. Mereka semua hendaknya tidak
mengabaikan titah ini serta tidak membiarkan penyelundupan candu merajalela.” (Taniputra,
2009: 507)
Namun pada kenyataannya semua titah
tersebut tidak memberikan dampak yang begitu berarti. Penyelundupan candu oleh
pedagang Inggris tetap saja berjalan dan makin marak. Hal ini disebabkan karena
letak pemerintah pusat terlalu jauh di sebelah utara dengan tempat-tempat yang
menjadi penyelundupan candu sehingga tidak bisa mengendalikan para pedagang;
banyak sekali pejabat yang korupsi dengan jalan menyelundupkan candu melalui
China Selatan. Wicaksono (2011) menyebutkan hal tersebut juga adalah salah satu
kesalahan dari pemerintahan Qing sendiri dalam menangani candu- yang pada saat
itu Dinasti Qing dibawah kekuasaan Jiaqing (1796-1820). Kurang terorganisirnya
pemerintahan sipil, ketidakbecusan armada laut pemerintah, dan tidak adanya
rasa tanggung jawab moral pada para pejabat, menyebabkan kebijakan pelarangan
candu tidak diikuti tindakan tegas oleh para pejabat di lapangan (Wicaksono,
2011: 215). Hal tersebut juga menyebabkan peningkatan jumlah candu yang
diekspor ke China sebanyak 9708 peti candu pada tahun 1908. Dampaknya banyak
rakyat china yang menjadi pencandu makin menderita karena ketergantungan.
Dampak dari dikeluarkannya dekrit oleh
Kaisar Yongzheng untuk melarang penjualan candu di China bagi pihak EIC adalah
keinginan Lord Warren Hasting untuk memperluas perdangan candu. Karena
menurutnya dengan populasi masyarakat China yang pada saat itu adalah 300 juta
jiwa nempak memiliki lahan keuntungan yang luar biasa. Menurutnya candu adalah
“komoditas yang menguntungkan, yang penggunaannya (di India) harus dibatasi
oleh pemerintah” (Wicaksono, 2011: 218). Dengan ditutupnya jalur perdagangan
kecuali Guangzhou dan penjualan candu yang berlisensi untuk pengobatan, Hasting
merasa terancam dengan hak-hak perdaganganny jika EIC tertangkap oleh
pemerintah Qing sedang menyelundupkan candu. Maka dari itu EIC dengan seorang
Gubernur Hasting melakukan cara-cara yang licik agar dapat menyelundupkan candu
ke China.
“mereka
menjalankan taktik ini dengan menjual candu India ke orang-orang Inggris, India
atau Persia yang memiliki armada-armada dagang dan siap menyelundupkannya ke
China. Perdagangan ini memberika keuntungan bagi pihak EIC secara aman dan
lumayan besar jumlahnya, karena sekitar 30 % perdagangan Inggris di Guangzhou
selama tahun 1764 dan 1800 disumbang oleh Candu.” (Wicaksono, 2011: 219).
Walaupun perdagangan candu telah dilarang oleh
kaisar namun pada kenyataannya praktek perdagangan ini masih saja berlangsung.
Ibarat bermain petak umpet, para pedagang EIC di Guangzhou mengumpulkan
pembayaran dari pedagang China yang membeli opium atau candu. Namun ketika
pemerintah Qing melakukan pembersihan candu di Guangzhou maka untuk sementara
agen EIC menutup perdagangannya, bahkan ada beberapa pejabat setempat yang
mendapat tugas memberantas penyelundup candu menerima suap dari pedagang EIC
untuk menutupi perbuatan mereka. Praktek penyuapan ini mulai merajalela,
akibatnya memberikan keleluasaan bagi pedagang EIC dan kapal-kapal dagang
Inggris untuk berdagang candu secara terang-terangan. Sejak tahun 1820
perdagangan candu meningkat drastic mencapai 900 ton per tahunnya dan mereka
berlayar dari pelabuhan Guangzhou ke Huangpu.
Pemberantasan juga dilakukan oleh kaisar dengan
memerintah Zhongdu Guangxi dan Guangdong. Wicaksono (2011) menyebutkan
peraturan-peraturan bagi penyelundup candu baik orang China yang terlibat
maupun pedagang Inggris.
a. Menangkap
orang China yang terlibat dalam penyelundupan candu
b. Memerikasa
kapal yang berlayar di Sungai Guangzhou
c. Setiap
kapal yang terbukti membawa candu akan disita dan semua muatan yang dibawanya
akan dimusnahkan
d. Bagi
kapal yang sudah terbukti membawa candu tidak boleh berdagang lagi di China.
Dampak dari
aturan ini bagi para penyelundup di Guangzhou adalah meninggalkan
Guangzhou dan mengalihkan operasinya ke Pulau Lintin atau dikenal dengan
istilah “perdagangan pantai”. Perdagangan candu di Lintin ini lebih ramai
dibandingkan dengan perdagangan yang terjadi di Guangzhou-Macao. Candu-candu
yang ada di Pulau Lintin disimpan di gudang terapung dan kemudian dibeli oleh
penyelundup China yang membelinya dengan menghubungi penyedia candu lewat
kantor-kantor perdagangan asing di Guangzhou dan lantas mengatur pengirimannya
(Wicaksono, 2011: 221).
Dengan dibukanya jalur “Perdagangan Pantai” ini
pemerintah Qing sangat kewalahan untuk memberantas penyelundupan ini karena
mereka sendiri tidak mempunyai armada laut sehingga tidak bisa mencegah kapal
dagang yang membawa candu masuk ke China. Selain itu China juga menghadapi
ancaman dari Inggris kelak suatu saat kapal-kapal perang Inggris akan mengancam
kedaulatan mereka.
Taniputra (2009) menjelaskan bahwa untuk mengatasi
jumlah candu yang mencapai 900 ton pert tahunnya di era tahun 1820-an, maka
pada tahun 1938 pemerintah China menjatuhkan hukuman mati bagi para penyelundup
candu lokal. Ketika itu penyelundupan candu sudah mencapai 1400 ton per
tahunnya.
Selain pemberantasan dilakukan oleh pihak istana,
muncul juga sosok Lin Zexu sebagai pemberantas yang agresif dan cerdas dalam
memberantas para penyelundup candu lokal dan asing. Sebelum Lin sah mendapat
gelar Komisioner Agung kekasisaran pada tahun 1938, Lin sempat mengirimkan
permintaanny kepada kaisar melalui memo. Isi memonya Lin meminta agar kaisar
menolak saran untuk melalisasi candu. Ia menegaskan bahwa apabila perdagangan
candu tetap diperbolehkan, maka se;ama sepuluh tahun ke depan tidak aka nada
pemasukan dari pajak dan tidak dapat merekrut pasukan (Wicaksono, 2011: 248).
Nampaknya sosok Lin Zexu merupakan seseorang yang mampu berfikir secara
futuristic. Tugas Lin yang diperintahkan oleh kaisar adalah menekan perdagangan
candu di Guangzhou. Lin juga mengeluarkan beberapa aturan bagi para pedagang
asing maupun orang China yang terlibat dalam perdagangan candu. Wicaksono
(2011) menyebutkan peraturan-peraturannya adalah:
a. Menghukum
komunitas perdagangan asing yang ikut andil dalam perdagangan candu.
b. Mereka
yang terlibat bisa saja mendapatkan akses pada pasar perdagangan China bila
mendapatkan pengampunan kaisar.
c. Warga
China yang terlibat dengan candu akan segera dihukum dengan hukuman yang berat.
d. Ultimatum:
dalam jangka waktu tiga hari para penelundup harus menyerahkan semua candu yang
ada di kapal-kapal penerima dan menandatangani pernyataan tidak akan lagi
melakukan perdagangan candu atau menghadapi hukuman mati dan pemusnahan seluruh
candu yang dimiliki.
e. Menjauhkan
para cohong yang memiliki hubungan
dekat dengan para pedagang asing.
Jika melihat peraturan yang dibuat oleh Lin
nampaknya hal ini membuat kecemasan orang China yang terlibat masalah candu dan
pada pedagang asing terutama Inggris yang sudah terlibat jauh dalam masalah
penyelundupan candu. Karena Lin membuat peraturan yang sedikit keras bagi
mereka. Pedagang asing pun nampaknya terancam dalam hal ekonomi karena candu
adalah komoditas yang menjanjikan bagi mereka. Jika kaisar tidak memberikan
ampun kepada para pedagang asing maka mereka akan kehilangan akses perdagangan
di China.
Tanggapan dari pihak pedagang Inggris sendiri yang
diketuai oleh Kapten Cahrles Elliot adalah menolak tuntutan atau peraturan yang
dibuat oleh Lin. Elliot bertanya kepada Gubernur Jendral Dengan Tiengzen
“Apakah Cina bermaksud membawa masalah ini ke dalam peeprangan terbuka?”
(Wicaksono, 2011: 254). Jika pertanyaan Elliot ditelaah lebih jauh, nampaknya
tuntutan yang dilakukan Lin sudah menjadikan embrio terjadinya peperangan. Hal
ini terbukti dengan persiapan Elliot dan pedagang Inggris dengan memerintahkan
Kapten Blake menahkodai HMS Larne kapal perang Kerajaan Inggris, jika suatu
saat terjadi serangan oleh China. Selain itu, Elliot juga memerintahkan semua
kapal dagang Inggris di Luar Juzhiang untuk menata kapal-kapal mereka dalam
posisi bertahan di sepanjang dermaga diantara diantara Semenanjung Kowloon dan
Hong Kong (Wicaksono, 2011: 254).
Menanggapi perlakuan dari Inggris tersebut, Lin
mengepung gudang tempat penyim panan candu (distrik 13 factory) yang didalamnya terdapat 350 pekerja asing. Wicaksono
(2011) menyebutnya ini sebagai strategi perang psikologis. Dalam hal ini Lin
menunjukan kecerdasannya dalam menghadapi pihak Inggris. Ia memerintahkan agar
semua warga China meninggalkan factory.
Setelah factory bersih dari warga
China, maka pasukan Lin mengepung factory.
Jelas saja dampak dari pengepungan ini adalah terjadinya kelaparan pada para
pekerja, karena mereka dikepung selama 40 hari.
Dengan keadaan seperti itu akhirnya pihak Inggris menyerah.
Taniputra (2009) menjelaskan bahwa penyebab menyerahnya Inggris kepada China
adalah terjadinya kelaparan pada para pekerja, jadi pihak Inggris ingin
membebaskan mereka dari kepungan China. Sedangkan menurut Wcaksono (2011),
penyebabnya adalah warga internasional menganggap pengepungan tersebut sebagai
tindakan yang sewenang-wenang yang
melanggar hak asasi warga asing di China. Oleh karena itu Elliot mempunyai rasa
tanggung jawab atas nyawa mereka dengan mengakui keterlibatan Inggris dalam
penyelundupan candu. Karena jika ia tidak melakukannya maka ia akan menerima
resiko dipersalahkan atas kematian warga Inggris.
Sebelum melakukan penyerahan candu kepada China, Lin
memberikan janji kepada Elliot bahwa setelah candu diserahkan pada gelombang
pertama, warga China akan bekerja kembali di factory; gelombang kedua, kapal-kapal pedagang Inggris kembali
berlayar di sepanjang Huangpu dan Macao; gelombang ketiga, pengepungan factory akan dihentikan; setelah semua
candu diserahkan, perdagangan asing kembali dipulihkan (Wicaksono, 2011: 257).
Taniputra (2009) menyebutkan penyerahan candu oleh
Inggris kepada China sebanyak 22.291 peti sedangkan Wicaksono (2011) sebanyak
21.000 peti dengan berat sekitar 1560 ton. Ada hal yang unik dalam penyerahan
candu ini. para pedagang candu ini menyerahkan dagangan-dagangannya tidak
langsung ke pemerintah China karena mereka akan menglami kerugian dengan
dimusnahkannya semua dagangan mereka. mereka menyerahkannya terlebih dahulu
kepada Elliot karena dia menjamin akan mengganti rugi kerugian para pedagang
dan dia juga memerintahkan kepada para pedagang agar memenuhi perintahnya,
karena jika tidak mereka akan berhadapan langsung dengan pemerintah China.
Sekarang Lin memegang candu yang merupakan aset
pemerintahan Kerajaan Inggris yang akan dimusnahkan ke laut. Keputusan untuk
dibuang ke laut ini merupakan hasil konsultasinya dengan para ahli mekanika dan
pengobatan di Guangzhou. Terdapat hal yang sangat unik sebelum membuang
candu-candu tersebut ke laut. Nampaknya dalam urusan seperti ini juga Lin yang
mewakili bangsa China saat itu masih memegang tradisi-tradisi yang berhubungan
dengan alam dan nenek moyang. Mereka mengadakan upacara “pemanggilan arwah”
yang bertujuan untuk “memberitahu para arwah agar membantu pemusnahan candu”
dan memperingatkan para mahluk laut untuk bertolak ke laut yang lebih dalam
agar tidak terkontaminasi oleh candu” (Wicaksono, 2011: 258). Lin menggunakan
ilmu Kimia berupa gas beracun untuk membuangnya ke laut agar semua candu yang
akan dibuangnya rusak.
2.2 Latar Belakang Perang Candu I
China menganggap dirinya sebagai Chung Kuo atau pusat dunia sehingga
mereka menganggap negara-negara Barat sebagai bangsa Huna atau bar-bar yang
bidab. Selain itu dengan digunakannya sistem isolasi membuat China tidak mengetahui
perkembangan dunia apalagi kemajuan yang dialami bangsa Barat.
Bangsa Barat ingin menjalin perdagangan
dengan China dengan komoditas utamanya teh, porselen, dan sutera. Teh yang
masuk ke Inggris pada zaman Raja Charles II di tahun 1660-an segera menjadi
minuman favorit para aristokrat Inggris, akibatnya kebutuhan impor teh segera
melonjak tajam (Wicaksono, 2011: 122). China menerapkan peraturan-peraturan
yang memberatkan pedagang-pedagang bangsa Barat seperti Belanda, Inggris,
Spanyol, Portugis, Perancis, dan Amerika Serikat hanya boleh meninggalkan Macao
selama bulan April sampai September yang merupakan bulan-bulan yang menyediakan
teh yang mereka beli. Kemudian, pedagang-pedagang bangsa Barat tidak boleh
membawa istri-istri mereka serta tidak mengizinkan untuk berbicara dengan
bahasa setempat. Mereka hanya diizinkan untuk berhubungan dengan pedagang
setempat melalui penerjemah yang juga sebagai penanggung jawab dari perilaku
atau sikap-sikap bangsa Barat tersebut. selain itu, mereka tidak diperkenankan
berada dalam rombongan lebih dari 10 orang.
Menurut Wicaksono (2011:122) sebenarnya
mereka terhina dengan perlakuan semacam ini, namun tidak ada yang bisa mereka
lakukan karena tidak banyak barang dagangan mereka yang diminati oleh China.
Mereka bahkan harus menukarkan barang yang lebih berharga dari barang yang
mereka tukar, yaitu perak batangan. China hanya ingin uang perak sebagai alat
tukar, tentu ini sangat memberatkan. Apalagi saat itu bangsa Barat manganut
sistem Merkantilisme. Lama kelamaan, negara-negara Barat mulai kehabisan perak
dan Inggris menemukan jalan keluarnya, yaiut menukarkan komoditi yang merka
inginkan dari China dengan komoditas yang tidak mungkin ditolak oleh China:
candu (Wicaksono, 2011: 123).
Pada saat itu, Pemerintahan Qing disibukkan
dengan pemberontakan-pemberontakkan dalam negeri dan tentu membutuhkan banyak
perak. Oleh karena itu, pemerintah Qing atau Manchu menerapkan aturan terhadap
pedagang-pedagang Bangsa Barat, antara lain (Wicaksono, 2011: 124):
a. Para
pedagang asing tidak diperbolehkan berhubungan langsung dengan pamerintah,
malainkan harus melalui suatu perantara yang disebut Gonghang, yang kemudian dikenal dengan nama Cohong.
b. Rekanan
dagang dari Cohong adalah Factory dari
Inggris maupun Comprador dari Portugal, sehingga pemerintah Qing tidak secara
langsung berhubungan dengan pedagang asing.
Akan tetapi Cohong ini melakukan
kewenagannya untuk memeras pedagang dengan melakukan pungutan liar atau bahkan
lebih parah, yaiut pemerasan. Hal ini membuat pedagang-pedagang bangsa Barat
melakukan cara lain untuk menghindari pemerasan, yaitu dengan penyelundupan,
termasuk penyelundupan candu.
China sudah lama mengenal candu yang
bermanfaat untuk pengobatan dan obat bius. Akan tetapi jika penggunaannya yang
berlebihan akan membuat kecanduan dan sulit untuk dihentikan. Sehingga Lin
Zexu, komisaris tinggi kekaisaran (Wicaksono, 2011: 258) dengan para ahli
mekanika dan pengobatan di Guangzhou, dan ia memutuskan untuk membuangnya ke
laut.
Tidak hanya pemusnahan candu yang
menjadi latar belakang terjadinya Perang Candu I. Adanya insiden pembunuhan Lin
Weixi oleh pelaut Inggris yang diseleasikan dengan tata cara peradilan Inggis
membuat pihak Qing atau dinasti Manchu terhina. Sehingga pemerintah Qing
menutup segala akses perdagangan dengan Inggris dan Inggris pun meninggalkan
Guangzhou.
Setelah meninggalkan Guangzhou
(Wicaksana, 2011: 263), pelabuhan Hongkong menjadi tempat utama berlabuhnya
kapal-kapal Inggris yang hendak berdagang dengan China. Akan tetapi tidak
menahan Lin Zexu untuk mengawasi seluruh kegiatan Inggris di Hongkong.
Lama-kelamaan pengaruh Inggris semakin kuat di Hongkong dan Charles Elliot,
perwakilan saudagar dari Inggris, memutuskan untuk pindah ke Macao. Namun Lin
Zexu tidak hanya tinggal diam, dia memutuskan bahwa Inggris harus meninggalkan
Macao serta mengeluarkan dekrit yang melarang kegiatan perdagangan dengan
Inggris, (Wicaksana, 2011: 264) termasuk melarang negara asing lainnya
memberikan bantuan atau berhubungan dengan Inggris apabila mereka masih ingin
berdagang dengan China.
Elliot mengadukan pelarangan tersebut
kepada Lord Palmerston, meteri luar negeri Inggris yang kemudian berencanan
untuk melancarkan perang (Wicaksana, 2011: 264) demi memulihkan perdagangan dan
mendapatkan kompensasi demi pemulihan perdagangan dan mendapatkan kompensasi
atas candu yang dimusnahkan oleh China. Rencana ini pun kemudian disetujui oleh
parlemen Inggris.
2.3 Proses Terjadinya Perang Candu I
Bulan Juni 1840 (Wicaksana, 2011: 264)
pemerintah Inggris memerintahkan Gubernur Jenderal Inggris di India untuk
mengirimkan 15 ribu orang pasukan untuk menghadapi China dengan Elliot sebagai
komandan lapangan dan James Bremer sebagai komandan angkatan laut. Pecahlah
Perang Candu I.
Pemerintah Inggris menuntut agar
pemerintah Qing agar memberikan kompensasi atas candu yang dimusnahkan dengan
ancaman dari militer Inggris. Namun tidak ada tanggapan dari pemerintah Qing,
mereka malah mengkap seorang warga Inggris di Macao pada tanggal 6 Agustus
1840. Dua minggu kemudian Inggris menyerang Qing di gerbang Guangzhou yang
memisahkan Macao dan Guangdong dan mengambil alih gerbang tersebut.
Kehadiran pasukan perang Inggris yang
telah mendekati ibukota membuat kaisar terkejut. Kemudian Elliot ditemui oleh zongdu Zhili yang bernama Qishan di
benteng Dagukou untuk berunding membicarakan perdamaian. Inggris menawarkan
untuk mengembalikan Dajio yang telah diduduki untuk ditukar dengan Hongkong dan
Kowloon. Selain itu Elliot meminta pemerintah Qing untuk membayar ganti rugi
sebesar 1 juta dolar tiap tahunnya sebagai penggantian dari candu yang telah
dimusnahkan dan sebgai gantinya Inggris akan menarik mundur pasukan dari China.
Namun Qishan menjadi berubah pikiran dan menganggap tindakan Inggris sudah
kelewatan. Namun setelah melihat pasal-pasal dari perjanjian tersebut yang
disebut Konvensi Chuanbi dirasa cukup menguntungkan dan merasa dapat
menghentikan peperangan tanpa kehilangan muka. Sementara keinginan pemerintah
Qing adalah mengusir Inggris dari China dan menangkap Elliot untuk dihukum.
Namun perjanjian ini pun ditandatangani tanpa sepengetahuan pemerintah Qing.
Pemerintah Qing memerintah Qishan untuk
menolak konvensi yang merendahkan martabat dinasti Qing. Namun Qishan sudah
terlanjur menandatangani konvensi tersebut. kemudian Qishan hanya bisa
menanggapi perintah kaisar dengan mengirimkan jawaban bahwa dia telah
menandatangani konvensi Chuanbi dan melampirkan salinan dari terjemahan
konvensi tersebut. Pemerintah Qing marah besar. Mereka menolak konvensi atas kelancangan
Qishan. Qishan pun dicopot dari kedudukannya dan menghukumnya.
Kemudian pemerintah Qing mengirimkan
pasukan untuk bererang melawan Inggris. Terjadilah pertempuran besar terbuka.
Serangan bertubi-tubi pun dilancarkan oleh pasukan Inggris. Qing kemudian
merasa bahwa mereka sedang berada didalam ancaman yang sangat serius.
2.4 Dampak dari Perang Candu I
Selama tiga tahun lamanya Inggris tidak berhenti
menyerang dan membuat pemerintah Qing maju kedalam meja perundingan. Pada
Agustus 1842 lahirlah kesepakatan damai dalam Perjanjian Nanking yang isinya
sebagai berikut:
1. Lima
pelabuhan, yaitu Kanton, Amoy, Foochow, Ningpo, dan Shanghai harus dibuka bagi
jalur perdagangan asing, dan Inggris boleh mengangkat konsul-konsul di setiap
kota pelabuhan tersebut.
2. Wakil-wakil
dari Inggris boleh mengadakan hubngan dagang atas dasar sama derajat dengan
para pembesar China.
3. Cina
harus mengadakan dan mengumumkan tarif bea dan cukai yang tetap.
4. Penghapusansistem
Cohong.
5. Hongkong
diserahkan kepada Inggris.
6. Pembayaran
ganti rugi kepada Inggris sebesar enam juta dolar.
Perjanjian ini jauh memberatkan dari
konvensi Chuanbi dan perjanjian Nanking ini sangat tidak seimbang. Kemudian
muncullah negara-negara lainnya seperti Perancis, Amerika Serikat, Rusia, dan
Jepang mengikuti jejak Inggris dengan melakukan perjanjian yang tidak seimbang
dengan tujuan mendapatkan keuntungan dari China.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Kebudayaan lama China menganggap
dirinya Chung Kuo yang memiliki arti
sebagai pusat peradaban dunia dan menganggap bangsa dilur dirinya adalah Wei Kuo, bangsa huna atau bar-bar. Jika
dilihat sejarahnya, memang China memiliki kebudayaan tinggi terutama saat
adanya perdagangan jalur Sutera dengan komoditas sutera yang sangat diminati
dunia. Selain itu dengan menerapkan sistem politik isolasi pada Dinasti Qing
atau Manchu membuat bangsa China tertutup pengetahuannya mengenai bangsa Barat
yang telah menjelma menjadi imperium lautan serta memiliki peradaban yang jauh
lebih tinggi dari China.
Korupsi dan kebobrokan moral dalam
Dinasti Qing memengaruhi kehancuran kehidupan Dinasti Manchu selanjutnya.
Ditambah pula candu yang beredar luas membuat kehidupan politik-sosial-ekonomi
Dinasti Qing menjadi carut marut, terutama setelah Inggris melakukan
penyelundupan candu di China.
Penyelundupan candu di China
dilatarbelakangi oleh aturan perdagangan yang sangat ketat. Apalagi setelah
ditetapkannya sistem cohong, dimana
perantara perdagangan lebih banyak melakuka pemerasan terhadap pedagang asing.
Hal ini membuat Inggris mencari jalan lain untuk melakukan perdagangan yang
aman dan lebih banyak mendapatkan keuntungan, yaitu dengan penyelundupan candu.
Lama-kelamaan peerintah Qing
mengetahui adanya penyelundupan candu yang berakibat pada kebobrokannya ekonomi
serta moral bangsanya, terutama rakyat-rakyat kecil yang menjadi tulang
punggung perekonomian mikro. Rakyat-rakyat kecil permulaanya diberikan candu
dengan cuma-cuma yang kemudian berakibat kepada ketergantungan yang membuat
rakyat melakukan segala cara untuk mendapatkan candu dari pedagang asing,
terutama Inggris.
Pemusnahan candu oleh pemerintah
Qing membuat Inggris tersinggung akan tindakan tersebut. selain itu tindakan
Inggris yang menerapkan hak ekstrateritorial
membuat Qing geram dan memusuhi Inggris dengan menutup hubungan dagang dengan
Inggris dan melarang bangsa asing lainnya untuk berhubungan dengan Inggris jika
masih ingin menjalin hubungan kerja sama dengan Qing. Inggris menjadi geram dan
melancarkan agresi militer ke China.
Inggris menawarkan untuk
mengembalikan Dajio yang telah diduduki untuk ditukar dengan Hongkong dan
Kowloon meminta pemerintah Qing untuk membayar ganti rugi sebesar 1 juta dolar
tiap tahunnya. Qishan sebagai wakil pemerintah Qing menyetujui dan
menandatangni konvensi tersebut tanpa sepengetahuan pemerintah Qing. Pemerintah
Qing pun kesal dengan tindakan Qishan, namun tidak ada tindakan untuk
menanggapi hal tersebut selain dengan perang terbuka.
Pecahlah
Pecang Candu I. Peperangan yang lama dan dengan pesenjataan tidak seimbang
membuat pemerintah Qing menyerah dan merujukan perjanjian damai dengan Inggris.
Lahirlah perjanjian Nanking yang sangat merugikan pihak Qing dan muncullah
negara-negara lainnya seperti Perancis, Amerika Serikat, Rusia, dan Jepang
mengikuti jejak Inggris dengan melakukan perjanjian yang tidak seimbang dengan
tujuan mendapatkan keuntungan dari China.
3.2 Kritik dan Saran
Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak
terdapat kekurangan. Oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari semua pihak sehingga pada penulisan selanjutnya akan lebih
baik.
DAFTAR PUSTAKA
Taniputra,
Ivan. (2003). History of China.
Jogjakarta: Ar-ruzz Media.
Wicaksono, M. (2011). Dinasti Manchu Masa Keemasan (1735-1850)
dari masuknya bangsa Barat hingga Daoguang. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Wiriaatmadja,
Rochiati, dkk.2004. Sejarah dan Peradaban Cina.Bandung : Humaniora.
Perdue, Peter C. (2011). The First Opiun War The Anglo-Chineseof War
1839-1842. [Online]. Tersedia: http://ocw.mit.edu/ans7870/21f/21f.027/opium_wars_01/ow1_essay01.html
(15 April 2012).
Yudiawan,Deni. (2007). Opium, Keindahan
yang Memabukkan. [Online]. Tersedia:http://anekaplanta.wordpress.com/2007/12/26/opium-keindahan-yang-memabukkan
(17 April 2012).
Maulana, I. Perang Candu Cina (1839-1860 M). [ONLINE]. Tersedia: http://www.hariansejarah.id/2017/05/perang-candu-cina-1839-1860-m.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar