Selasa, 01 Mei 2018

PENGARUH PERANG CANDU TERHADAP KERUNTUHAN PERADABAN CHINA


Written by Dinan Afifah and Tiur N. Raharjo

BAB I
PENDAHULUAN
1.1                Latar Belakang
Sejarah China sangat terkenal di dunia dan memiliki perjalanan yang sangat panjang, terbukti dengan adanya buku “Buku Besar Sejarah”. Proses pengumpulan dan penyusunan buku referensi penting ini dimulai pada permulaan zaman Dinasti Manchu (1644-1912) yang di dalamnya termuat semua cerita tentang zaman purbakala yang ditulis sekitar 500 SM (Wiriaatmadja, 2004: 40).
China sejak lama telah melakukan perdagangan ke luar daerahnya dan terkenal sampai ke daerah Barat dengan komoditas-komaoditas utamanya seperti teh, porselen, dan sutera. Jalur perdagangan darat yang menghubungkan China dan dunia barat—yang terkenal itu—sudah ada sejak zaman Dinasti Han Barat, sekitar abad ke-2 SM. Sehingga China sejak lama sudah mendunia (Wicaksono, 2011: 1). 

 PENGARUH PERANG CANDU TERHADAP KERUNTUHAN PERADABAN CHINA
(Sumber foto: www.hariansejarah.id)



Perang Candu Cina

Hubungan perdagangan dengan bangsa Barat membuat China pedagang-pedagang atau sudagar-saudagar saling mengunjungi dan bangsa Barat pada saat itu memandang China hanya emporium saja. Namun saat Konstantinopel dikuasai Islam akibat Perang Salib membuat kota sebagai pasar utama dari bertemunya barang dagangan dari Barat dan Timur tersebut ditutup untuk kaum nasrani yang notabene bangsa Barat. Hal ini membuat bangsa Barat melakukan penjelajahan untuk mencari barang dagangan langsung dari daerah penghasilnya.
Selain itu karena adanya reformasi gereja, yang membuat bangsa barat ingin membuktikan dunia ini bulat yang dikemukakan galileo galilei sejak lama mendorong bangsa barat melakukan penjelajahan.
Didorong pula sistem ekonomi Merkantilisme yang sedang berkembang di dunia barat membuat mereka ingin mencari negeri jajahan untuk mengeksploitasi sumber daya alam, terutama logam murni—emas dan perak. Kemudian perkembangan bangsa Barat yang telah terjadi revolusi industri berdampak ledakan penduduk dan sumber produksi membuat mereka ingin menerapkan imperialisme dan kolonialisme di negeri jajahan.
Negara pertama yang melakukan penjelahan jalur laut adalah Portugis/Potugal, dengan Vasco da Gama yang pertama mencapai India. Portugal bahkan berhasil mencapai pantai China Timur pada tahun 1514 (Wicaksono, 2011: 2). Menyusul Spanyol dan Belanda serta Inggris. Namun tidaklah mudah menerapkan imperialisme dan kolonialisme di negeri Tirai Bambu ini karena adanya pemerintahan kekaisaran yang bersifat despostis-absolut dan merasa menjadi pusat kebudayaan dunia. Selain itu karena adanya pertentangan antar bangsa Barat itu sendiri.
Akhirnya Inggrislah yang mampu menundukkan China dengan perjanjian Nanking akibat Perang Candu. Perang Candu ini dilatarbelakangi penyelundupan candu ke China oleh Inggris. Tentu ini membuat China geram. Latar belakang Perang Candu, proses peristiwa perang, dampak Perang Candu, serta dampak Candu bagi kehidupan sosial, ekonomi, dan politik akan dibahas dalam makalah ini.
1.2                Rumusan Masalah
Berdasarkan pokok pikiran diatas, terdapat masalah utama yang menjadi kajian penulisan makalah ini, yaitu: “Perang Candu I sebagai bagian dari keruntuhan Peradaban China”. Untuk lebih memfokuskan masalah dari masalah utama maka penulis membatasi permasalahan yang dirumuskan dalam beberapa pernyataan sebagai berikut:
a.       Bagaimana masalah penyelundupan candu di China?
b.      Bagaimana latar belakang Perang Candu I?
c.       Bagaimana proses terjadinya Perang Candu I?
d.      Bagaimana dampak dari Perang Candu I?

1.3                Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Timur, sedangkan tujuan secara khususnya adalah:
a.       Menjelaskan masalah penyelundupan candu di China.
b.      Menganalisis latar belakang Perang Candu I.
c.       Mendeskripsikan proses terjadinya Perang Candu I.
d.      Menganalisis dampak dari Perang Candu I.


1.4                Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang disusun penulis untuk mempermudah memahami makalah ini adalah sebagai berikut:
BAB I, Pendahuluan. Membahas mengenai latar belakang penulisan, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan penulisan, metode dan teknik penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II, Candu dan Perang Candu I. Membahas mengenai permasalahan yang di kaji oleh penulis, juga merupakan uraian penjelasan terhadap aspek-aspek yang ditanyakan dalam perumusan masalah.
BAB III, Kesimpulan. Membahas kesimpulan penulis yang dapat ditarik dari pembahasan masalah, yaitu berupa hasil temuan dan pandangan penulis, serta jawaban terhadap masalah-masalah secara keseluruhan dari permasalahan yang dikaji mengenai pandangan penulis terhadap “Perang Candu I sebagai bagian dari keruntuhan Peradaban China”.



BAB II
CANDU DAN PERANG CANDU I
2.1 Masalah Candu di China
Candu sudah dikenal di China jauh sebelum masuknya Bangsa Barat. Bangsa China sudah lama menggunakan Candu sebagai obat namun keberadaannya yang semakin meluas dan tidak terkendali adalah setelah masuknya Bangsa Barat di China yang akan dibahas lebih lanjut.
2.1.1 Keberadaan Candu di China pada masa dinasti Qing
Banyak sumber referensi yang membahas mengenai keberadaan Candu di China dan perdagangannya yang illegal. Dalam bahasan ini penulis mencoba menggunakan tiga pendapat yang menjelaskan mengenai keberadaan Candu di China. Wicaksono (2011)  menjelaskan bahwa candu pertama kali masuk ke China pada abad ke-7 atau ke-8 melalui pedagang Arab dan Turki yang memperoleh candu dari menyadap tanaman Papaver somniferumm yang tumbuh di Timur Tengah dan India. Kegunaan pada abad ini hanya sebagai obat tidur saja. Wiriaatmadja (2004) dalam “Sejarah dan Peradaban Cina” menjelaskan bahwa masyarakat China mulai mengenal dan menggunakan candu sejak abad ke-13. Pendapatnya sejalan dengan sumber informasi dari internet yang menjelaskan bahwa  candu sudah ada di China sejak abad ke-13 yang digunakan sebagai bahan obat-obatan. Pada waktu itu candu disebut juga dengan istilah “fu-shau-kao” yang berarti obat kebahagiaan dan panjang umur. Sedangkan Taniputra (2009) dalam “History of China” menjelaskan bahwa bangsa Tionghoa telah mengenal candu pada sekitar abad ke-15.
Jauh setelah China mengenal adanya candu sebagai bahan obat-obatan, pada sekitar abad ke-18 Inggris melakukan perdagangan candu dengan China yang membawa dampak negatif bagi masyarakat China. Ada beberapa faktor yang menyebabkan EIC bercokol di China untuk melakukan perdagangan candu. Diantaranya adalah pedagang Inggris kehabisan perak sebagai alat tukar untuk membeli komoditas sutera dan teh di Guangzhou sehingga Inggris mengalami defisit; dan Inggris melihat adanya keuntungan yang luar biasa bangsa India di bawah Kerajaan Mughal (semenjak pemerintahan Akbar, 1556-1605) yang melakukan perdagangan candu illegal melaluui China Selatan. Kedua hal tersebutlah yang mendorong pedagang Inggris untuk melakukan perdagangan candu.
Seperti yang sudah diketahui bahwa opium memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positifnya dapat digunakan dalam dunia medis sebagai penawar rasa sakit dan menekan aktivitas psikologi yang dapat menyebabkan tubuh tak sadarkan diri, namun semua itu digunakan dalam dosis tertentu. Di China sendiri opium digunakan sebagai obat kebahagiaan dan panjang umur. Sedangkan dampak negatifnya, pengguna bisa mengalami kekacauan pada saat berbicara, kerusakan penglihatan pada malam hari, kerusakan pada hati dan ginjal, risiko terkena virus HIV, hepatitis, dan penyakit infeksi lainnya makin meningkat, penurunan libido, kebingungan dalam identitas seksual, hingga kematian karena overdosis (http://anekaplanta.wordpress.com/2007/12/26/opium-keindahan-yangmemabukkan/).
Sedangkan menurut Wicaksono (2011) candu menyebabkan ketergantungan yang berat, dan pecandunya akan menjadi lemah dan malas. Para pecandu jarang melewati usia 50 tahun, dan pecandu berat hanya punya usia harapan hidup 5 tahun semenjak pertama kali menghisap candu. Di Fujian dan Guangdong pada masa dinasti Qing di bawah kekuasaan Shunzhi (1644-1661) sudah mengenal merokok opium yang diperkenalkan oleh Spanyol. Pecandu yang terlibat pun terdiri dari berbagai kalangan, seperti para pejabat atau orang kaya dan kaum buruh. Dampaknya mereka mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhan mereka akan candu. Para pejabat mampu membeli candu namun nampaknya kaum buruh tidak seberuntung pejabat karena mereka harus menghabiskan dua pertiga penghasilannya untuk membeli candu, sehingga membuat penghidupan keluarga menjadi terabaikan (Wicaksono, 2011: 214). Wiriaatmadja (2003) menjelaskan bahwa candu dapat merusak kesehatan rakyat dan merugikan keuangan Negara.
2.1.2 Ajaran Confusianisme mengutuk keberadaan candu yang sifatnya merusak.
          “seseorang mempunyai tugas dan hutang pada nenek moyangnya, dimana tubuhnya diberikan padanya oleh nenek moyangnya sebagai penghubunga antara dirinya dengan para leluhurnya. Maka dari itu merusak kesehatan dan tubuh adalah suatu pelanggaran dan pelakunya dianggap tidak berbaktikepada leluhur.” (Wicaksono, 2011: 215)
Peredaran Candu di China nampaknya makin marak setelah adanya beberapa larangan impor langsung dari pihak istana. Bahkan pada tahun 1820 terdapat 9.708 peti candu yang diselundupkan ke China. 15 tahun kemudian jumlah pasokannya menjadi 4 kali lipat. Dalam perkembangannya tempat penyelundupan candu akan berpindah ke Pulau Lintin di Muara Teluk Guangzhou. Disinilah para penyelundup bebas melakukan aksinya karena jauh dari jangkauan pemerintah China. Pulau Lintin mendapatkan candu yang dikirim oleh pedagang Inggris yang merupakan panenan dari India sekitar 140 pon (±79 kg) candu dan dibentuk seukuran buah anggur (Wicaksono, 2011: 220) Bukan hanya di Lintin saja yang menjadi tempat untuk melakukan perdagangan candu, tetapi sudah menyebar dari Guangzhou ke Shantou, Xiamen, Zhangzhou dan Huian, Fuzhou, Hangzhou dan Shanghai. Para Yaokao (pedagang narkotika) mengangkut candu dan membawanya ke Jiangxi dan Guizhou, ke Timur sampai ke Fujian, dan ke Utara samapai ke Henan, Jiangxi, Anhui dan Shaanxi (Wicaksono, 2011: 223). Di awal disebutkan bahwa Fujian dan Guangdong telah mengenal rokok opium. Hal tersebut diperparah pada tahun 1830 dengan perbadingan 9 dari 10 orang yang menjadi pecandu.
Orang-orang yang terlibat dalam penyelundupan candu bukan hanya pedagang Inggris saja, tetapi banyak sekali oknum dari bangsa China-bahkan pejabat yang ikut terlibat didalamnya. Keterlibatan mereka bukan saja dalam hal jual menjual candu, namun ada beberapa dari mereka yang melakukan korupsi dan berkhianat pada istana. Hal ini memberikan kesan seolah pejabat dinasti Qing mempunyai mental korup dan kebobrokan moral. Pejabat-pejabat di Guangzhou yang seharusnya bertugas memberantas penyelundupan candu, malah mengumpulkan ”sampel gratis” untuk dibagikan kepada atasannya sampai ke istana kaisar. Wicaksono (2011) menjelaskan bahwa pada tahun 1813, kaisar menemukan beberapa pengawal pribadi dan kasim istana menjadi pecandu opium.


2.1.3 Pemberantasan Candu
Semakin maraknya peredaran Candu di China tidak lantas membuat pihak istana duduk di kursi saja. Pihak istana melakukan pemberantasan dengan cara melarang impor candu dengan cara “hati-hati”, mulai dari dikeluarkannya dekrit kaisar, memerintahkan pejabat-pejabat untuk ikut memberantasnya. Selain itu muncul sosok Lin Zexu sebagai pemberantas penyelundupan candu dengan caranya yang “agresif”. Namun semua usaha pemberantasan ini mendapat tanggapan positif dan negatif dari kalangan pedagang candu illegal.
Usaha awal pemeberantasan yang dilakukan oleh pihak istana adalah dikeluarkannya dekrit. Pada tahun 1729 Kaisar Yongzheng bertindak dengan melarang mengimpor candu kecuali untuk pengobatan. Larangan ini nampakanya tidak bisa menghentikan impor candu ke China. Maka pada tahun 1799 kekaisaran dibawah pemerintahan Kaisar Jiaqing mengeluarkan dekrit baru lagi yang berbunyi:
“..orang asing tentu saja mendapatkan keuntungan dan laba yang besar, namun bila rakyat kita harus mengejar kesenangan yang merusak dan berbahaya ini, maka hal tersebut pastilah menyedihkan dan tercela..” (Wicaksono, 2011: 215)

Menurut Taniputra (2009) untuk melarang impor candu ke China pada tahun 1810 Kaisar Jiaqing mengeluarkan titah yang berbunyi:
“candu memiliki pengaruh yang sangat merusak. Ketika seseorang mencandu menghirup asapnya, memang benar itu akan membuatnya merasa senang dan [merasa] sanggup melakukan apa saja yang menyenangkannya. Tetapi lambat laun, itu akan membunuhnya. Candu adalah racun, bertentangan dengan tradisi dan moralitas kita yang baik. Penggunaannya dilarang oleh hukum. Kini seorang bernama Yang telah berani membawanya ke Kota terlarang. Sehingga tentu saja ia telah melanggar hukum! Meskipun demikian, dewasa ini perdagangan dan konsumsi candu telah meningkat dengan pesat. Para pedagang yang curang membeli dan menjualnya demimendapat keuntungan [pribadi]. Kantor bea cukai Pelabuhan Gerbang Zhongwen aslinya didirikan untuk mengawasi barang-barang impor (tetapi tak berdaya dalam menghadapi penyelundupan candu ini). jika kita melakukan razia terhadap candu di pelabuhan-pelabuhan, dikahawatirkan bahwa hal ini masih belum memadai. Karenanya, kami juga memerintahkan para petugas keamanan di kelima gerbang untuk melarang candu dan merazianya di seluruh gerbang. Jika para pelakunya terungkap, maka mereka harus segera dihukum dan candunya secepatnya dimusnahkan. Sehubungan dengan provinsi Guangdong dan Fujian, yakni provinsi tempat masuknya candu, kami memerintahkan para raja muda, guburnur dan kepala bea cukai maritime untuk melakukan pencarian yang menyeluruh terhadap candu, serta memotong rantai penyelundupannya. Mereka semua hendaknya tidak mengabaikan titah ini serta tidak membiarkan penyelundupan candu merajalela.” (Taniputra, 2009: 507)

Namun pada kenyataannya semua titah tersebut tidak memberikan dampak yang begitu berarti. Penyelundupan candu oleh pedagang Inggris tetap saja berjalan dan makin marak. Hal ini disebabkan karena letak pemerintah pusat terlalu jauh di sebelah utara dengan tempat-tempat yang menjadi penyelundupan candu sehingga tidak bisa mengendalikan para pedagang; banyak sekali pejabat yang korupsi dengan jalan menyelundupkan candu melalui China Selatan. Wicaksono (2011) menyebutkan hal tersebut juga adalah salah satu kesalahan dari pemerintahan Qing sendiri dalam menangani candu- yang pada saat itu Dinasti Qing dibawah kekuasaan Jiaqing (1796-1820). Kurang terorganisirnya pemerintahan sipil, ketidakbecusan armada laut pemerintah, dan tidak adanya rasa tanggung jawab moral pada para pejabat, menyebabkan kebijakan pelarangan candu tidak diikuti tindakan tegas oleh para pejabat di lapangan (Wicaksono, 2011: 215). Hal tersebut juga menyebabkan peningkatan jumlah candu yang diekspor ke China sebanyak 9708 peti candu pada tahun 1908. Dampaknya banyak rakyat china yang menjadi pencandu makin menderita karena ketergantungan.
Dampak dari dikeluarkannya dekrit oleh Kaisar Yongzheng untuk melarang penjualan candu di China bagi pihak EIC adalah keinginan Lord Warren Hasting untuk memperluas perdangan candu. Karena menurutnya dengan populasi masyarakat China yang pada saat itu adalah 300 juta jiwa nempak memiliki lahan keuntungan yang luar biasa. Menurutnya candu adalah “komoditas yang menguntungkan, yang penggunaannya (di India) harus dibatasi oleh pemerintah” (Wicaksono, 2011: 218). Dengan ditutupnya jalur perdagangan kecuali Guangzhou dan penjualan candu yang berlisensi untuk pengobatan, Hasting merasa terancam dengan hak-hak perdaganganny jika EIC tertangkap oleh pemerintah Qing sedang menyelundupkan candu. Maka dari itu EIC dengan seorang Gubernur Hasting melakukan cara-cara yang licik agar dapat menyelundupkan candu ke China.
“mereka menjalankan taktik ini dengan menjual candu India ke orang-orang Inggris, India atau Persia yang memiliki armada-armada dagang dan siap menyelundupkannya ke China. Perdagangan ini memberika keuntungan bagi pihak EIC secara aman dan lumayan besar jumlahnya, karena sekitar 30 % perdagangan Inggris di Guangzhou selama tahun 1764 dan 1800 disumbang oleh Candu.” (Wicaksono, 2011: 219).

Walaupun perdagangan candu telah dilarang oleh kaisar namun pada kenyataannya praktek perdagangan ini masih saja berlangsung. Ibarat bermain petak umpet, para pedagang EIC di Guangzhou mengumpulkan pembayaran dari pedagang China yang membeli opium atau candu. Namun ketika pemerintah Qing melakukan pembersihan candu di Guangzhou maka untuk sementara agen EIC menutup perdagangannya, bahkan ada beberapa pejabat setempat yang mendapat tugas memberantas penyelundup candu menerima suap dari pedagang EIC untuk menutupi perbuatan mereka. Praktek penyuapan ini mulai merajalela, akibatnya memberikan keleluasaan bagi pedagang EIC dan kapal-kapal dagang Inggris untuk berdagang candu secara terang-terangan. Sejak tahun 1820 perdagangan candu meningkat drastic mencapai 900 ton per tahunnya dan mereka berlayar dari pelabuhan Guangzhou ke Huangpu.
Pemberantasan juga dilakukan oleh kaisar dengan memerintah Zhongdu Guangxi dan Guangdong. Wicaksono (2011) menyebutkan peraturan-peraturan bagi penyelundup candu baik orang China yang terlibat maupun pedagang Inggris.
a.       Menangkap orang China yang terlibat dalam penyelundupan candu
b.      Memerikasa kapal yang berlayar di Sungai Guangzhou
c.       Setiap kapal yang terbukti membawa candu akan disita dan semua muatan yang dibawanya akan dimusnahkan
d.      Bagi kapal yang sudah terbukti membawa candu tidak boleh berdagang lagi di China.
Dampak dari  aturan ini bagi para penyelundup di Guangzhou adalah meninggalkan Guangzhou dan mengalihkan operasinya ke Pulau Lintin atau dikenal dengan istilah “perdagangan pantai”. Perdagangan candu di Lintin ini lebih ramai dibandingkan dengan perdagangan yang terjadi di Guangzhou-Macao. Candu-candu yang ada di Pulau Lintin disimpan di gudang terapung dan kemudian dibeli oleh penyelundup China yang membelinya dengan menghubungi penyedia candu lewat kantor-kantor perdagangan asing di Guangzhou dan lantas mengatur pengirimannya (Wicaksono, 2011: 221). 
Dengan dibukanya jalur “Perdagangan Pantai” ini pemerintah Qing sangat kewalahan untuk memberantas penyelundupan ini karena mereka sendiri tidak mempunyai armada laut sehingga tidak bisa mencegah kapal dagang yang membawa candu masuk ke China. Selain itu China juga menghadapi ancaman dari Inggris kelak suatu saat kapal-kapal perang Inggris akan mengancam kedaulatan mereka.
Taniputra (2009) menjelaskan bahwa untuk mengatasi jumlah candu yang mencapai 900 ton pert tahunnya di era tahun 1820-an, maka pada tahun 1938 pemerintah China menjatuhkan hukuman mati bagi para penyelundup candu lokal. Ketika itu penyelundupan candu sudah mencapai 1400 ton per tahunnya.
Selain pemberantasan dilakukan oleh pihak istana, muncul juga sosok Lin Zexu sebagai pemberantas yang agresif dan cerdas dalam memberantas para penyelundup candu lokal dan asing. Sebelum Lin sah mendapat gelar Komisioner Agung kekasisaran pada tahun 1938, Lin sempat mengirimkan permintaanny kepada kaisar melalui memo. Isi memonya Lin meminta agar kaisar menolak saran untuk melalisasi candu. Ia menegaskan bahwa apabila perdagangan candu tetap diperbolehkan, maka se;ama sepuluh tahun ke depan tidak aka nada pemasukan dari pajak dan tidak dapat merekrut pasukan (Wicaksono, 2011: 248). Nampaknya sosok Lin Zexu merupakan seseorang yang mampu berfikir secara futuristic. Tugas Lin yang diperintahkan oleh kaisar adalah menekan perdagangan candu di Guangzhou. Lin juga mengeluarkan beberapa aturan bagi para pedagang asing maupun orang China yang terlibat dalam perdagangan candu. Wicaksono (2011) menyebutkan peraturan-peraturannya adalah:
a.       Menghukum komunitas perdagangan asing yang ikut andil dalam perdagangan candu.
b.      Mereka yang terlibat bisa saja mendapatkan akses pada pasar perdagangan China bila mendapatkan pengampunan kaisar.
c.       Warga China yang terlibat dengan candu akan segera dihukum dengan hukuman yang berat.
d.      Ultimatum: dalam jangka waktu tiga hari para penelundup harus menyerahkan semua candu yang ada di kapal-kapal penerima dan menandatangani pernyataan tidak akan lagi melakukan perdagangan candu atau menghadapi hukuman mati dan pemusnahan seluruh candu yang dimiliki.
e.       Menjauhkan para cohong yang memiliki hubungan dekat dengan para pedagang asing.
Jika melihat peraturan yang dibuat oleh Lin nampaknya hal ini membuat kecemasan orang China yang terlibat masalah candu dan pada pedagang asing terutama Inggris yang sudah terlibat jauh dalam masalah penyelundupan candu. Karena Lin membuat peraturan yang sedikit keras bagi mereka. Pedagang asing pun nampaknya terancam dalam hal ekonomi karena candu adalah komoditas yang menjanjikan bagi mereka. Jika kaisar tidak memberikan ampun kepada para pedagang asing maka mereka akan kehilangan akses perdagangan di China.
Tanggapan dari pihak pedagang Inggris sendiri yang diketuai oleh Kapten Cahrles Elliot adalah menolak tuntutan atau peraturan yang dibuat oleh Lin. Elliot bertanya kepada Gubernur Jendral Dengan Tiengzen “Apakah Cina bermaksud membawa masalah ini ke dalam peeprangan terbuka?” (Wicaksono, 2011: 254). Jika pertanyaan Elliot ditelaah lebih jauh, nampaknya tuntutan yang dilakukan Lin sudah menjadikan embrio terjadinya peperangan. Hal ini terbukti dengan persiapan Elliot dan pedagang Inggris dengan memerintahkan Kapten Blake menahkodai HMS Larne kapal perang Kerajaan Inggris, jika suatu saat terjadi serangan oleh China. Selain itu, Elliot juga memerintahkan semua kapal dagang Inggris di Luar Juzhiang untuk menata kapal-kapal mereka dalam posisi bertahan di sepanjang dermaga diantara diantara Semenanjung Kowloon dan Hong Kong (Wicaksono, 2011: 254).
Menanggapi perlakuan dari Inggris tersebut, Lin mengepung gudang tempat penyim panan candu (distrik 13 factory) yang didalamnya terdapat 350 pekerja asing. Wicaksono (2011) menyebutnya ini sebagai strategi perang psikologis. Dalam hal ini Lin menunjukan kecerdasannya dalam menghadapi pihak Inggris. Ia memerintahkan agar semua warga China meninggalkan factory. Setelah factory bersih dari warga China, maka pasukan Lin mengepung factory. Jelas saja dampak dari pengepungan ini adalah terjadinya kelaparan pada para pekerja, karena mereka dikepung selama 40 hari.
Dengan keadaan seperti itu akhirnya pihak Inggris menyerah. Taniputra (2009) menjelaskan bahwa penyebab menyerahnya Inggris kepada China adalah terjadinya kelaparan pada para pekerja, jadi pihak Inggris ingin membebaskan mereka dari kepungan China. Sedangkan menurut Wcaksono (2011), penyebabnya adalah warga internasional menganggap pengepungan tersebut sebagai tindakan yang sewenang-wenang  yang melanggar hak asasi warga asing di China. Oleh karena itu Elliot mempunyai rasa tanggung jawab atas nyawa mereka dengan mengakui keterlibatan Inggris dalam penyelundupan candu. Karena jika ia tidak melakukannya maka ia akan menerima resiko dipersalahkan atas kematian warga Inggris.
Sebelum melakukan penyerahan candu kepada China, Lin memberikan janji kepada Elliot bahwa setelah candu diserahkan pada gelombang pertama, warga China akan bekerja kembali di factory; gelombang kedua, kapal-kapal pedagang Inggris kembali berlayar di sepanjang Huangpu dan Macao; gelombang ketiga, pengepungan factory akan dihentikan; setelah semua candu diserahkan, perdagangan asing kembali dipulihkan (Wicaksono, 2011: 257).
Taniputra (2009) menyebutkan penyerahan candu oleh Inggris kepada China sebanyak 22.291 peti sedangkan Wicaksono (2011) sebanyak 21.000 peti dengan berat sekitar 1560 ton. Ada hal yang unik dalam penyerahan candu ini. para pedagang candu ini menyerahkan dagangan-dagangannya tidak langsung ke pemerintah China karena mereka akan menglami kerugian dengan dimusnahkannya semua dagangan mereka. mereka menyerahkannya terlebih dahulu kepada Elliot karena dia menjamin akan mengganti rugi kerugian para pedagang dan dia juga memerintahkan kepada para pedagang agar memenuhi perintahnya, karena jika tidak mereka akan berhadapan langsung dengan pemerintah China.
Sekarang Lin memegang candu yang merupakan aset pemerintahan Kerajaan Inggris yang akan dimusnahkan ke laut. Keputusan untuk dibuang ke laut ini merupakan hasil konsultasinya dengan para ahli mekanika dan pengobatan di Guangzhou. Terdapat hal yang sangat unik sebelum membuang candu-candu tersebut ke laut. Nampaknya dalam urusan seperti ini juga Lin yang mewakili bangsa China saat itu masih memegang tradisi-tradisi yang berhubungan dengan alam dan nenek moyang. Mereka mengadakan upacara “pemanggilan arwah” yang bertujuan untuk “memberitahu para arwah agar membantu pemusnahan candu” dan memperingatkan para mahluk laut untuk bertolak ke laut yang lebih dalam agar tidak terkontaminasi oleh candu” (Wicaksono, 2011: 258). Lin menggunakan ilmu Kimia berupa gas beracun untuk membuangnya ke laut agar semua candu yang akan dibuangnya rusak.

2.2 Latar Belakang Perang Candu I
China menganggap dirinya sebagai Chung Kuo atau pusat dunia sehingga mereka menganggap negara-negara Barat sebagai bangsa Huna atau bar-bar yang bidab. Selain itu dengan digunakannya sistem isolasi membuat China tidak mengetahui perkembangan dunia apalagi kemajuan yang dialami bangsa Barat.
Bangsa Barat ingin menjalin perdagangan dengan China dengan komoditas utamanya teh, porselen, dan sutera. Teh yang masuk ke Inggris pada zaman Raja Charles II di tahun 1660-an segera menjadi minuman favorit para aristokrat Inggris, akibatnya kebutuhan impor teh segera melonjak tajam (Wicaksono, 2011: 122). China menerapkan peraturan-peraturan yang memberatkan pedagang-pedagang bangsa Barat seperti Belanda, Inggris, Spanyol, Portugis, Perancis, dan Amerika Serikat hanya boleh meninggalkan Macao selama bulan April sampai September yang merupakan bulan-bulan yang menyediakan teh yang mereka beli. Kemudian, pedagang-pedagang bangsa Barat tidak boleh membawa istri-istri mereka serta tidak mengizinkan untuk berbicara dengan bahasa setempat. Mereka hanya diizinkan untuk berhubungan dengan pedagang setempat melalui penerjemah yang juga sebagai penanggung jawab dari perilaku atau sikap-sikap bangsa Barat tersebut. selain itu, mereka tidak diperkenankan berada dalam rombongan lebih dari 10 orang.
Menurut Wicaksono (2011:122) sebenarnya mereka terhina dengan perlakuan semacam ini, namun tidak ada yang bisa mereka lakukan karena tidak banyak barang dagangan mereka yang diminati oleh China. Mereka bahkan harus menukarkan barang yang lebih berharga dari barang yang mereka tukar, yaitu perak batangan. China hanya ingin uang perak sebagai alat tukar, tentu ini sangat memberatkan. Apalagi saat itu bangsa Barat manganut sistem Merkantilisme. Lama kelamaan, negara-negara Barat mulai kehabisan perak dan Inggris menemukan jalan keluarnya, yaiut menukarkan komoditi yang merka inginkan dari China dengan komoditas yang tidak mungkin ditolak oleh China: candu (Wicaksono, 2011: 123).
Pada saat itu, Pemerintahan Qing disibukkan dengan pemberontakan-pemberontakkan dalam negeri dan tentu membutuhkan banyak perak. Oleh karena itu, pemerintah Qing atau Manchu menerapkan aturan terhadap pedagang-pedagang Bangsa Barat, antara lain (Wicaksono, 2011: 124):
a.       Para pedagang asing tidak diperbolehkan berhubungan langsung dengan pamerintah, malainkan harus melalui suatu perantara yang disebut Gonghang, yang kemudian dikenal dengan nama Cohong.
b.      Rekanan dagang dari Cohong adalah Factory dari Inggris maupun Comprador dari Portugal, sehingga pemerintah Qing tidak secara langsung berhubungan dengan pedagang asing.
Akan tetapi Cohong ini melakukan kewenagannya untuk memeras pedagang dengan melakukan pungutan liar atau bahkan lebih parah, yaiut pemerasan. Hal ini membuat pedagang-pedagang bangsa Barat melakukan cara lain untuk menghindari pemerasan, yaitu dengan penyelundupan, termasuk penyelundupan candu.
China sudah lama mengenal candu yang bermanfaat untuk pengobatan dan obat bius. Akan tetapi jika penggunaannya yang berlebihan akan membuat kecanduan dan sulit untuk dihentikan. Sehingga Lin Zexu, komisaris tinggi kekaisaran (Wicaksono, 2011: 258) dengan para ahli mekanika dan pengobatan di Guangzhou, dan ia memutuskan untuk membuangnya ke laut.
Tidak hanya pemusnahan candu yang menjadi latar belakang terjadinya Perang Candu I. Adanya insiden pembunuhan Lin Weixi oleh pelaut Inggris yang diseleasikan dengan tata cara peradilan Inggis membuat pihak Qing atau dinasti Manchu terhina. Sehingga pemerintah Qing menutup segala akses perdagangan dengan Inggris dan Inggris pun meninggalkan Guangzhou.
Setelah meninggalkan Guangzhou (Wicaksana, 2011: 263), pelabuhan Hongkong menjadi tempat utama berlabuhnya kapal-kapal Inggris yang hendak berdagang dengan China. Akan tetapi tidak menahan Lin Zexu untuk mengawasi seluruh kegiatan Inggris di Hongkong. Lama-kelamaan pengaruh Inggris semakin kuat di Hongkong dan Charles Elliot, perwakilan saudagar dari Inggris, memutuskan untuk pindah ke Macao. Namun Lin Zexu tidak hanya tinggal diam, dia memutuskan bahwa Inggris harus meninggalkan Macao serta mengeluarkan dekrit yang melarang kegiatan perdagangan dengan Inggris, (Wicaksana, 2011: 264) termasuk melarang negara asing lainnya memberikan bantuan atau berhubungan dengan Inggris apabila mereka masih ingin berdagang dengan China.
Elliot mengadukan pelarangan tersebut kepada Lord Palmerston, meteri luar negeri Inggris yang kemudian berencanan untuk melancarkan perang (Wicaksana, 2011: 264) demi memulihkan perdagangan dan mendapatkan kompensasi demi pemulihan perdagangan dan mendapatkan kompensasi atas candu yang dimusnahkan oleh China. Rencana ini pun kemudian disetujui oleh parlemen Inggris.

2.3  Proses Terjadinya Perang Candu I
Bulan Juni 1840 (Wicaksana, 2011: 264) pemerintah Inggris memerintahkan Gubernur Jenderal Inggris di India untuk mengirimkan 15 ribu orang pasukan untuk menghadapi China dengan Elliot sebagai komandan lapangan dan James Bremer sebagai komandan angkatan laut. Pecahlah Perang Candu I.
Pemerintah Inggris menuntut agar pemerintah Qing agar memberikan kompensasi atas candu yang dimusnahkan dengan ancaman dari militer Inggris. Namun tidak ada tanggapan dari pemerintah Qing, mereka malah mengkap seorang warga Inggris di Macao pada tanggal 6 Agustus 1840. Dua minggu kemudian Inggris menyerang Qing di gerbang Guangzhou yang memisahkan Macao dan Guangdong dan mengambil alih gerbang tersebut.
Kehadiran pasukan perang Inggris yang telah mendekati ibukota membuat kaisar terkejut. Kemudian Elliot ditemui oleh zongdu Zhili yang bernama Qishan di benteng Dagukou untuk berunding membicarakan perdamaian. Inggris menawarkan untuk mengembalikan Dajio yang telah diduduki untuk ditukar dengan Hongkong dan Kowloon. Selain itu Elliot meminta pemerintah Qing untuk membayar ganti rugi sebesar 1 juta dolar tiap tahunnya sebagai penggantian dari candu yang telah dimusnahkan dan sebgai gantinya Inggris akan menarik mundur pasukan dari China. Namun Qishan menjadi berubah pikiran dan menganggap tindakan Inggris sudah kelewatan. Namun setelah melihat pasal-pasal dari perjanjian tersebut yang disebut Konvensi Chuanbi dirasa cukup menguntungkan dan merasa dapat menghentikan peperangan tanpa kehilangan muka. Sementara keinginan pemerintah Qing adalah mengusir Inggris dari China dan menangkap Elliot untuk dihukum. Namun perjanjian ini pun ditandatangani tanpa sepengetahuan pemerintah Qing.
Pemerintah Qing memerintah Qishan untuk menolak konvensi yang merendahkan martabat dinasti Qing. Namun Qishan sudah terlanjur menandatangani konvensi tersebut. kemudian Qishan hanya bisa menanggapi perintah kaisar dengan mengirimkan jawaban bahwa dia telah menandatangani konvensi Chuanbi dan melampirkan salinan dari terjemahan konvensi tersebut. Pemerintah Qing marah besar. Mereka menolak konvensi atas kelancangan Qishan. Qishan pun dicopot dari kedudukannya dan menghukumnya.
Kemudian pemerintah Qing mengirimkan pasukan untuk bererang melawan Inggris. Terjadilah pertempuran besar terbuka. Serangan bertubi-tubi pun dilancarkan oleh pasukan Inggris. Qing kemudian merasa bahwa mereka sedang berada didalam ancaman yang sangat serius.

2.4  Dampak dari Perang Candu I
Selama tiga tahun lamanya Inggris tidak berhenti menyerang dan membuat pemerintah Qing maju kedalam meja perundingan. Pada Agustus 1842 lahirlah kesepakatan damai dalam Perjanjian Nanking yang isinya sebagai berikut:
1.      Lima pelabuhan, yaitu Kanton, Amoy, Foochow, Ningpo, dan Shanghai harus dibuka bagi jalur perdagangan asing, dan Inggris boleh mengangkat konsul-konsul di setiap kota pelabuhan tersebut.
2.      Wakil-wakil dari Inggris boleh mengadakan hubngan dagang atas dasar sama derajat dengan para pembesar China.
3.      Cina harus mengadakan dan mengumumkan tarif bea dan cukai yang tetap.
4.      Penghapusansistem Cohong.
5.      Hongkong diserahkan kepada Inggris.
6.      Pembayaran ganti rugi kepada Inggris sebesar enam juta dolar.
Perjanjian ini jauh memberatkan dari konvensi Chuanbi dan perjanjian Nanking ini sangat tidak seimbang. Kemudian muncullah negara-negara lainnya seperti Perancis, Amerika Serikat, Rusia, dan Jepang mengikuti jejak Inggris dengan melakukan perjanjian yang tidak seimbang dengan tujuan mendapatkan keuntungan dari China.
   




      BAB III       
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
            Kebudayaan lama China menganggap dirinya Chung Kuo yang memiliki arti sebagai pusat peradaban dunia dan menganggap bangsa dilur dirinya adalah Wei Kuo, bangsa huna atau bar-bar. Jika dilihat sejarahnya, memang China memiliki kebudayaan tinggi terutama saat adanya perdagangan jalur Sutera dengan komoditas sutera yang sangat diminati dunia. Selain itu dengan menerapkan sistem politik isolasi pada Dinasti Qing atau Manchu membuat bangsa China tertutup pengetahuannya mengenai bangsa Barat yang telah menjelma menjadi imperium lautan serta memiliki peradaban yang jauh lebih tinggi dari China.
            Korupsi dan kebobrokan moral dalam Dinasti Qing memengaruhi kehancuran kehidupan Dinasti Manchu selanjutnya. Ditambah pula candu yang beredar luas membuat kehidupan politik-sosial-ekonomi Dinasti Qing menjadi carut marut, terutama setelah Inggris melakukan penyelundupan candu di China.
            Penyelundupan candu di China dilatarbelakangi oleh aturan perdagangan yang sangat ketat. Apalagi setelah ditetapkannya sistem cohong, dimana perantara perdagangan lebih banyak melakuka pemerasan terhadap pedagang asing. Hal ini membuat Inggris mencari jalan lain untuk melakukan perdagangan yang aman dan lebih banyak mendapatkan keuntungan, yaitu dengan penyelundupan candu.
            Lama-kelamaan peerintah Qing mengetahui adanya penyelundupan candu yang berakibat pada kebobrokannya ekonomi serta moral bangsanya, terutama rakyat-rakyat kecil yang menjadi tulang punggung perekonomian mikro. Rakyat-rakyat kecil permulaanya diberikan candu dengan cuma-cuma yang kemudian berakibat kepada ketergantungan yang membuat rakyat melakukan segala cara untuk mendapatkan candu dari pedagang asing, terutama Inggris.
            Pemusnahan candu oleh pemerintah Qing membuat Inggris tersinggung akan tindakan tersebut. selain itu tindakan Inggris yang menerapkan hak ekstrateritorial membuat Qing geram dan memusuhi Inggris dengan menutup hubungan dagang dengan Inggris dan melarang bangsa asing lainnya untuk berhubungan dengan Inggris jika masih ingin menjalin hubungan kerja sama dengan Qing. Inggris menjadi geram dan melancarkan agresi militer ke China.
            Inggris menawarkan untuk mengembalikan Dajio yang telah diduduki untuk ditukar dengan Hongkong dan Kowloon meminta pemerintah Qing untuk membayar ganti rugi sebesar 1 juta dolar tiap tahunnya. Qishan sebagai wakil pemerintah Qing menyetujui dan menandatangni konvensi tersebut tanpa sepengetahuan pemerintah Qing. Pemerintah Qing pun kesal dengan tindakan Qishan, namun tidak ada tindakan untuk menanggapi hal tersebut selain dengan perang terbuka.
Pecahlah Pecang Candu I. Peperangan yang lama dan dengan pesenjataan tidak seimbang membuat pemerintah Qing menyerah dan merujukan perjanjian damai dengan Inggris. Lahirlah perjanjian Nanking yang sangat merugikan pihak Qing dan muncullah negara-negara lainnya seperti Perancis, Amerika Serikat, Rusia, dan Jepang mengikuti jejak Inggris dengan melakukan perjanjian yang tidak seimbang dengan tujuan mendapatkan keuntungan dari China.

3.2 Kritik dan Saran
Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sehingga pada penulisan selanjutnya akan lebih baik.




DAFTAR PUSTAKA
Taniputra, Ivan. (2003). History of China. Jogjakarta: Ar-ruzz Media.
Wicaksono, M. (2011). Dinasti Manchu Masa Keemasan (1735-1850) dari masuknya bangsa Barat hingga Daoguang. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Wiriaatmadja, Rochiati, dkk.2004. Sejarah dan Peradaban Cina.Bandung : Humaniora.
Perdue, Peter C. (2011). The First Opiun War The Anglo-Chineseof War 1839-1842. [Online]. Tersedia: http://ocw.mit.edu/ans7870/21f/21f.027/opium_wars_01/ow1_essay01.html (15 April 2012).
Yudiawan,Deni. (2007). Opium, Keindahan yang Memabukkan. [Online]. Tersedia:http://anekaplanta.wordpress.com/2007/12/26/opium-keindahan-yang-memabukkan (17 April 2012).
Maulana, I. Perang Candu Cina (1839-1860 M). [ONLINE]. Tersedia: http://www.hariansejarah.id/2017/05/perang-candu-cina-1839-1860-m.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar