Senin, 30 April 2018

Perkembangan Pendidikan Jepang Pasca Perang Dunia II (1945-1952): Masa Pendudukan Tentara Amerika




Written by Tiur Nurmayany Raharjo

Abstrak
            Pada tanggal 14 agustus 1945, sejumlah 602 industri perang dan instalasi militer Jepang yang penting telah dibinasakan atau rusak hebat; pelayaran di Laut Pedalaman dapat dikatakan lenyap; dan hampir separuh dari seluruh kawasan di 66 kota—445 kilometer persegi—rata dengan tanah (Wheeler, 1987: 197). Pernyataan Wheeler ini membuat kita dapat membayangkan hancur leburnya kondisi Jepang setelah sekutu menjatuhkan bom-bom atomnya. Akan tetapi jika melihat Jepang saat ini sangat berbeda dengan apa yang dideskripsikan oleh Wheeler, bahkan sisa-sisa perang tidak terlihat di negara yang kini sangat mengecam perang. Jepang saat ini menjadi negara besar dan sangat diperhitungkan di dunia. Amerika Serikat yang pernah menduduki Jepang pasca Perang Dunia II tentu memberi kontribusi dalam perkembangan Negeri Matahari Terbit. Pembangunan dan pembaharuan banyak dilakukan oleh Tentara Pendudukan Amerika, tidak terkecuali dan terpenting adalah perubahan yang dilakukan dalam bidang pendidikan. Artikel ini menjelaskan perubahan-perubahan sistem pendidikan yang dilakukan Tentara Pendudukan Amerika di Jepang Pasca Perang Dunia II yang mengkontribusi kemajuan Jepang dalam bidang pendidikan.

Perkembangan Pendidikan Jepang Pasca Perang Dunia II (1945-1952): Masa Pendudukan Tentara Amerika


Sumber gambar: japanesestation.com


Pendahuluan
            Jepang merupakan suatu negara yang terletak di ujung timur Asia yang padat penduduk. Permukaan wilayahnya yang bergunung-gunung membuat bangsa Jepang terbebas dari pengaruh negara-negara lain. Faktor geografis suatu negara atau wilayah dapat memengaruhi suatu kebijakan politik pemerintahan suatu rezim yang berkuasa seperti yang dikemukakan oleh Nurhayati (1987: 17) salah satu kebijakan Tokugawa pada abad ke-17 M adalah diberlakukannya Politik Isolasi (Sakoku) yaitu Bangsa Jepang tidak melakukan hubungan dalam bentuk apapun dengan bangsa asing. Bangsa Jepang sendiri dilarang berpergian ke luar Negeri (Grolier International, inc, 1990: 73).
Kebijakan Sakoku membuat Jepang merasakan kedamaian dan berkembangnya kebudayaan, namun terbelakang dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi jika dibandingkan negara-negara Eropa yang sudah modern akibat revolusi industri. Perkembangan bangsa Barat tidak banyak diketahui oleh Jepang sampai akhirnya kapal-kapal perang Komodor Perry masuk Teluk Edo dan melepaskan beberapa tembakkan peringatan dari meriam-meriamnya (Cummings, 1984: 19). Komodor Perry berasal dari Amerika Serikat yang bertugas membuka hubungan diplomatik dan perdagangan dengan Jepang karena wilayahnya yang sangat diperitungkan bagi bangsa Barat.  Amerika dan negara-negara Barat lainnya merasa perlu untuk menjalin hubungan dengam Jepang karena posisi Jepang yang sangat strategis untuk membuka akses terhadap bangsa-bangsa Asia lain terutama Cina dan Korea (Nurhayati, 1987: 34).
Golongan ksatria Jepang, Samurai, yang merupakan golongan atas masyarakat Jepang dan terkenal dengan keberaniannya merasa terkejut melihat teknologi militer yang tidak pernah mereka ketahui. Golongan Samurai kemudian merasa tertantang untuk menanggapi kemajuan tersebut. Beberapa tahun kemudian runtuhlah Rezim Tokugawa oleh angkatan muda Samurai yang menginginkan perubahan bangsanya menjadi bangsa modern.
Berakhirnya Ke-Shogun-an Tokugawa mengawali Kekaisaran Meiji yang bertekad membuat lembaga-lembaga Jepang lebih modern dan menghindari dari nasib bangsa yang terjajah. Terjadilah modernisasi atau westernisasi pada Rezim Meiji yang menjadi kategori awal Zaman Kebangkitan oleh Mattulada. Rezim Meiji melakukan perombakaan liberal seperti di dunia Barat, yaitu menghapus sistem feodal, menyusun suatu konstitusi dan mendirikan suatu lembaga perwakilan politik. Perombakan ini menempatkan rakyat dibawah kekuasaan pemerintahan pusat secara ketat yang mengakibatkan terjadinya eksploitasi tenaga rakyat untuk pembangunan.
Usaha modernisasi dilakukan dalam tiga bidang yang salah satunya adalah memperluas pendidikan. “Revolusi Pendidikan” yang menciptakan suatu sistem pendidikan yang sekarang terkenal dengan nama “sistem lama” menjadi bagian integral dari usaha rezim baru untuk mewujudkan tujuan-tujuan ini (Cummings, 1984: 20). Selain itu, pada masa Kekaisaran Meiji banyak orang muda Jepang yang berbakat dikirim ke Amerika Serikat dan Eropa untuk belajar dan banyak pula orang Eropa dan Amerika Serikat diundang ke Jepang sebagai guru. Sehingga modernisasi dalam bidang pendidikan tidak menjadikan Jepang terjajah akan tetapi menjadi negara yang maju dan tetap merdeka.
Kekuatan Jepang pun menjadi sangat kuat terutama di bidang militer yang terkuat dan termodern se-Pasifik, ditambah dengan persatuan rakyat yang semakin kokoh membuat Jepang merasa cukup kuat sebagai sekutu Jerman untuk menentang beberapa bangsa Barat dalam Perang Dunia II. Selain latar belakang militer dan politik, pendidikan di Jepang pun mengkontribusi Jepang untuk masuk dalam kancah Perang Dunia II.
            Pertempuran sengit pun terjadi selama beberapa tahun. Namun Jepang harus menerima kenyataan bahwa Perang Dunia II diakhiri dengan kekalahan Jepang. Kekalahan ini membuat Tentara Amerika menduduki Jepang dan melakukan perombakkan secara masal sebagai suatu reaksi terhadap ciri-ciri Jepang dari zaman sebelum perang. Pemerintahan pendudukan bertujuan untuk menjadikan masyarakat Jepang yang demokratis dan cinta damai. Maka terjadilah revolusi untuk kedua kalinya dalam bidang pendidikan di Jepang.


Sistem Lama Pendidikan Jepang
            Pendidikan yang ada di Jepang terbagi atas dua periode, yang pertama adalah saat pra-Perang Dunia II dan pasca-Perang Dunia II. Kedua periode ini memiliki perbedaan dalam kebijakan pendidikan.   Kebikajakan pendidikan pada masa sebelum Perang Dunia II terangkum dalam Imperial Rescript of Education, yaitu Perintah Kaisar mengenai pendidikan. Imperial Rescript of Education menanamkan nilai-nilai positif secara mendalam dan kokoh dalam pribadi setiap kaisar. Materi pembelajarannya bertujuan untuk menerapkan nilai-nilai kesetiaan dan kepatuhan dari generasi kegenerasi dengan tetap menerapkan etetika.
Selain itu, filsafat pendidikan Jepang dalam sistem lama dirumuskan oleh menteri Pendidikan pada masa Meiji, yaitu Mori Arinori yang tetap diterapkan sampai akhir Perang Dunia II. Sistem pendidikan yang dirancang oleh Mori (Cummings, 1984: 21), yaitu:
1.      Pendidikan Spritual
Semua pemuda di Jepang wajib belajar 4 tahun di sekolah dasar. Selama itu, pemuda-pemuda Jepang di berikan pembelajaran kognitif dasar dan azas-azas moral bangsa dan tema dalam kurikulum tersebut adalah adanya perbedaan pembelajaran yang diberikan untuk laki-laki dan perempuan dalam mencapai tujuan nasional. Kaum laki-laki diberikan pembelajaran sesuai dengan tempatnya dalam dunia pekerjaan, sedangkan perempuan dalam rumah-tangga.
2.      Integrasi Bangsa
Pada masa ke-Shogun-an, kesetiaan prajurit dan rakyat ditujukan kepada pembesar setempat. Maka ini menjadi tantangan bagi Kekaisaran Meiji untuk merombak kesetiaan lokal itu. Kurikulum tentang pendidikan spiritual berisikan tema yang berpusat pada kesetiaan pada Raja dan tujuan nasional, keduanya merupakan alat paling utama dalam mencapai tujuan nasional.
3.      Memilih Golongan Elit Berdasakan Prestasi
Mori telah menciptakan macam-macam perguruan tinggi antara sekolah dasar dan Imperial University. Imperial University bertugas memilih golongan bangsa elit bangsa dan memberikan kepadanya pendidikan yang luas yang cocok dengan peranan golongan elit.
4.      Tenaga Kerja dengan Kecakapan Teknis
Mori telah menciptakan macam-macam perguruan tinggi antara sekolah dasar dan Imperial University. Perguruan-perguruan itu merupakan suatu sistem yang beraneka ragam di atas sekolah-wajib. Jalur-jalur lainnya menuju ke berbagai sekolah kejuruan.
Pendidikan di Jepang sebelum Perang Dunia II bersifat nasionalistik yang mulai diterapkan pada pendidikan di sekolah dasar dan kurikulum bertema nasional mulai dimasukkan. Melalui pendidikan pemerintah berusaha sekuat-kuatnya menanamkan pendidikan budi pekerti terhadap masyarakat Jepang untuk mencapai tujuan nasional yang menekankan pada pendidikan moral.
Pendidikan moral dimasukkan ke dalam kurikulum yang awalnya menggunakan buku-buku dari Perancis yang kemudian Jepang dapat membuat buku berisi pendidikan moral sendiri. Pendidikan moral tersebut menghasilkan hubungan yang harmonis antara individu dengan lingkungannya, kesetiaan dan kepatuhan kepada orang tua, suami, istri, sahabat, menjadi diri sendiri yang moderat dan sederhana, serta menuntut ilmu sedalam mungkin dan diimbangi dengan jiwa seni. Tetapi kemudian pendidikan moral disalahgunakan oleh pihak militer untuk menanamkan doktrin-doktrin kepada pemuda Jepang.
Sejak tahun 1880an, kementerian pendidikan telah meningkatkan pengawasan terhadap pendidikan moral, pertama-tama dengan melarang terjemahan buku-buku asing mengenai moral, dan kemudian menerbitkan sendiri buku-buku yang menjurus kepada nilai-nilai tradisional. Pendidikan yang bertenma ultranasionalis pun dimulai. Nilai-nilai tradisional seperti kesetiaan terhadap kaisar, rasa cinta tanah air, rasa hormat kepada orang tua, dan memiliki harga diri, serta nilai-nilai ajaran konfusius diterapkan.
Mori menanamkan cara berfikir militer dalam kepribadian guru secara mendalam dan mengubah seluruh rutinitas kehidupan sekolah normal menjadi pola militeristik. Siswanya pun dididik secara militer yang bertujuan membentuk manusia Jepang yang rajin, tegas, disiplin dan berjiwa nasionalis tinggi.
            Masa kekaisaran Meiji telah membangun Imperial University yang kemudian menjadi lembaga pendidikan yang terbesar dan menjanjikan jabatan-jabatan elite. Beberapa tahun setelah dibangunnya Imperial University, universitas ini menjadi favorit di kalangan pemuda dan diperlukan usaha keras untuk dapat diterima di tersebut. Namun perkembangan selanjutnya, Imperial University tidak dapat memenuhi banyaknya permintaan untuk menambah kuota mahasiswa yang dapat diterima. Oleh karena itu, pemerintah mendirikan berbagai Imperial University ditempat-tempat lain, seperti di Tohoku, Hokkaido, Kyushu, Nagoya, dan Osaka.
            Banyaknya universitas dan mahasiswa didalamnya berbanding lurus dengan banyaknya lulusan. Menurut Cummings (1984: 35) di Jepang ada kurang lebih 40.000 mahasiswa, setiap tahun menyelesaiakan hampir 15.000 mahasiswa. Namun perekonomian Jepang tidak dapat menyerap tenaga pendidikan yang dihasilkan universitas-universitas tersebut. Akibatnya banyak lulusan universitas yang bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan keahliannya dan diantara mereka ada yang menjadi pemimpin pergolakan. Akan tetapi lulusan universitas tersebut mendapat kedudukan tertinggi dalam pekerjaannya dengan pertimbangan mereka berpendidikan tinggi lulusan universitas, walaupun tidak sesuai dengan keahliannya. Sehingga kasus ini membuat Jepang mengidap “penyakit ijazah”.
            Masyarakat Jepang dengan berbagai golongan dapat memperoleh pendidikan tinggi jika mampu membayar biayanya karena biaya di universitas sangatlah tinggi, kecuali pendidikan guru dan militer. Namun tetap terdapat hak-hak istimewa yang diberikan untuk golongan elite. Mereka dengan mudah mendapatkan nilai-nilai yang tinggi, lulus ujian dengan mudah, dan dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Akibatnya banyak pihak, terutama pemuda miskin yang kecewa dengan sistem pendidikan tersebut. Setelah dewasa mereka yang masuk sekolah guru dan militer memiliki rasa kecemburuan sosial dan membuat mereka mendukung golongan ultranaionalis yang tidak puas dengan keadaan. Mereka menentang golongan yang mujur nasibnya dan mendesak dilakukannya perang mencari jajahan (Cummings, 1984: 36).
            Jepang bergabung dengan Jerman untuk melawan Sekutu, terjadilah Perang Dunia. namun Jepang harus menelan kekalahannya dan menerima Deklarasi Postdam.

Latar Belakang Perubahan yang Dilakukan Tentara Pendudukan
Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II menyebabkan negara ini kehilangan kedaulatannya dan dikuasai oleh Sekutu. Berdasarkan isi dari Deklarasi Potsdam, Sekutu sebagai pihak pemenang dalam Perang Dunia II mempunyai hak untuk menduduki Jepang.  Angkatan perang Jepang meletakan senjata pada tanggal 15 Agustus 1945. Sore harinya, Kaisar Hirohito permaklumkan “Penyerahan senjata tanpa syarat” kepada Sekutu melalui radio kepada seluruh bangsanya (Mattulada, 1979: 185). Rakyat Jepang merasa sedih namun juga melegakan mendengar keputusan itu, lega karena bebas dari rasa takut terhadap ancaman perang. Akan tetapi keputusan Kaisar tidak begitu saja di terima, terutama bagi golongan militaris karena berlainan dengan mentalitas Bushido (sistem etika yang dianut oleh kelompok ksatria yang terkenal di Jepang, Samurai, bertekad bertarung sampai nafas terakhir). Namun berbeda pula dengan perasaan bagian banyak rakyat yang menerima dengan lapang keputusan Kaisar karena penyerahan tersebut di sampaikan langsung oleh Kaisar. Bagaimanapun mereka berperang atas nama Kaisar dan kini Kaisar sendiri yang meminta untuk menghentikan perang dan menyerahkannya kepada tentara Sekutu. Akhirnya semua pihak menerima keputusan tersebut, sebab tidak ada alasan lain selain menjunjung tinggi titah Kaisar.
            Beberapa minggu kemudian setelah Kaisar menerima Deklarasi Postdam, Panglima Tertinggi Angkatan Perang Sekutu di Pasifik, Jenderal Douglas MacArthur mendarat di Atsugi pada tanggal 30 Agustus 1945 dengan keadaan yang tenang dan aman. Piagam penyerahan ditandatangani pada tanggal 2 September 1945 di atas kapal-perang Amerika Serikat yang berlabuh di teluk Tokyo. Komando tertinggi Pasukan Pendudukan Sekutu (SCAP—Supreme Command for the Allied Powers) ditetapkan hari itu juga dengan Jenderal MacArthur sebagai Panglimanya (Mattulada, 1979: 186).
            Pendudukan Sekutu dapat dikatakan sebagai pendudukan Amerika Serikat yang merupakan penanaman paham-paham dan perilaku Barat untuk kedua kalinya semenjak Restorasi Meiji. Akan tetapi tentu ini sangat berbeda. Saat Periode Meiji, Bangsa Jepang bebas belajar dari Barat sesuai dengan keperluan mereka sehingga mereka dapat menyeleksinya. Akan tetapi kini Jepang dipaksa untuk menelan apa saja yang diberikan oleh bangsa Barat, khususnya Amerika dan membuat mereka harus mengikuti apa yang diperintahkan.
            Jenderal MacArthur mendapat wewenang absolut atas Jepang termasuk Kaisar. Akan tetapi MacArthur tidak gegabah dalam membuat kebijakan karena ia memahami sistem pemerintahan Jepang yang tunduk patuh kepada Kaisar. Ini membuat MacArthur memerintah secara tidak langsung dan hanya melalui aparat politik dan administrasi yang ada di Jepang, tentunya yang sudah diatur olehnya sehingga membuat kekuasaan Pendudukan terhindar dari konflik.
            Pendudukan Tentara Amerika mendapatkan kesuksesan dalam program-programnya karena program tersebut memang sudah direncanakan oleh Jepang sebelum Perang Dunia II. Seperti landreform dan hak pilih bagi kaum perempuan. Akan tetapi reformasi dalam bidang pendidikan tidak berjalan dengan lancar.
            Pola pendidikan di Jepang disamakan dengan yang diberlakukannya di Amerika, sistem persekolahan Sekolah Dasar 6 tahun; Sekolah Menengah 3 tahun; Sekolah Menengah Atas 3 tahun; dan Perguruan Tinggi 4 tahun. Orang Jepang menerima diadakannya wajib belajar menjadi 9 tahun, akan tetapi tidak menyukai sistem baru mengenai Pendidikan Perguruan Tinggi karena dirasakan menjadi stereotyped dan penurunan kualitas.
            Pemerintah Pendudukan mengeluarkan perintah yang bertujuan menghapus semua pengaruh militer dan ultranasionalis (Cummings, 1984: 38). Mata pelajaran budi pekerti, ilmu bumi, dan sejarah Jepang di tangguhkan karena ketiga pelajaran tersebut dianggap menunjang ideologi perang di masa lalu. Pejabat-pejabat di bidang pendidikan serta guru-guru yang telah berjasa menanamkan ideologi tersebut di sebelum perang dipecati. Adapun yang mengundurkan diri untuk menghindari ancaman pembersihan tersebut. Selain itu, dalam bidang bisnis dan kesenian pun di lakukan pembersihan serta unsur-unsur nasionalistis dimasa lalu yang memiliki kedudukan tinggi di singkirkan yang kemudian di ganti dengan orang-orang berpaham liberal guna mempermudah Pemerintahan Pendudukan melaksanakan program perubahan. Namun menurut Sluimers dalam bukunya yang berjudul Jepang (122) ia menyatakan bahwa dari 647.000 orang guru-guru itu sejumlah 5.700 tidak diberi hak lagi untuk mengajar, ini adalah suatu bukti, bahwa sebenarnya tindakan yang dilakukan pemerintah pendudukan itu tak dijalankan dengan tajam-tajam benar.
            Sistem pendidikan yang lama diatur oleh suatu dekrit kerajaan dan keputusan pemerintah. Sedangakan sistem pendidikan yang baru didasarkan Undang-Undang yang diusulkan dan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Perubahan ke dasar legislatif serta munculnya partai-partai politik progresif yang menaruh minat kepada kebijakasanaan pendidikan melahirkan dialog tentang pendidikan di masa sesudah Perang Dunia II (Cummings, 1984: 39).

Filsafat Pendidikan yang Baru
            Tentara Pendudukan mendatangkan ahli-ahli pendidikan bangsa Amerika ke Jepang pada bulan Maret 1947. Ahli-ahli pendidikan itu terkenal dengan sebutan “Misi Pendidikan Amerika Serikat ke Jepang” (Cummings, 1984: 40). Misi itu menyebut berbagai kelemahan yang ada dalam sistem pendidikan lama.
Sistem pendidikan Jepang yang lama dan kurikulumnya sangat memerlukan pembaharuan sesuai dengan teori-teori pendidikan modern sekalipun sistem itu tidak mengandung ultranasionalisme dan militerisme. Sistem itu didasarkan kepada pola abad ke sembilanbelas yang seluruhnya diatur dari satu pusat sehingga ada suatu jenis pendidikan buat rakyat kebanyakan dan suatu jenis lagi buat sekelompok orang-yang mempunyai hak-hak istimewa dan yang jumlahnya lebih banyak. Pada tiap tingkat pendidikan ada suatu kuantum pengetahuan yang harus diserap oleh siswa, perbedaan kepentingan siswa dan perbedaan kemampuannya umumnya diabaikan. Karena ada petunjuk-petunjuk yang harus diturut, buku-buku teks yang harus dipakai, ujian dan pengawasan maka sistem itu mengurangi kemungkinan guru untuk melakukan tugasnya dengan lebih bebas. Efisiensi sistem itu bergantung kepada hal sampai di mana standarisasi dan uniformitas itu telaksana (Cummings, 1984: 40).
            Pernyataan tersebut dapat terlihat bahwa filsafat yang diterapkan oleh Misi tersebut yaitu menghapus paham ultranasionalisme dan militerisme, dan lebih demokratis. Untuk melaksanakan rekomendasi Misi itu dibentuk suatu Dewan Pembaharuan Pendidikan resmi setingkat dengan Menteri Pendidikan (Cummings, 1984: 41) dan tujuan pendidikan dalam sistem baru tersebut, Anderson (Cummings, 1984: 41) adalah mengembangkan seutuhnya, berusaha sekuat-kuatnya mendidik rakyat supaya sehat rohaniah maupun jasmaniah, mencintai kebenaran dan keadilan, menghormati nilai indivudu, menghormati kerja dan mempunyai kesadaran akan tanggung jawab sedalam-dalamnya serta berjiwa bebas sebagai pembina suatu negara dan masyarakat yang penuh kedamaian.



Struktur Sistem Baru
Setelah berakhirnya Perang Dunia ke II yaitu pada tanggal 3 November 1946, kebijakan pendidikan Jepang mulai dirubah berbasis Hak Asasi Manusia, kebebasan hati nurani, jaminan setiap individu untuk mengembangkan kebebasan berfikir, kebebasan akademik dimana setiap individu memperoleh hak untuk mendapatkan pendidikan sesuai dengan kemampuannya.
            Untuk mewujudkan filsafah demokratis yang baru itu maka Misi Pendidikan Amerika Serikat mendesak diadakannya suatu struktur baru bagi pendidikan di Jepang. Ciri pokoknya adalah sebagai berikut (Cummings, 1984: 41-42)
1.      Sekolah Dasar wajib selama enam tahun yang tidak memungut biaya “menyiapkan anak menjadi warga yang sehat, aktif, menggunakan fikirannya dan ingin mengembangkan kemampuan pembawaannya”.
2.      Dalam sistem yang lama ada berbagai jalur lanjutan sekolah dasar yang semuanya tidak bersifat wajib. Misi menganjurkan “hendaknya sesudah sekolah dasar itu ada sekolah lanjutan pertama tiga tahun lamanya buat semua siswa laki-laki maupun perempuan dengan kurikulum yang pada dasarnya sama buat semua siswa tetapi bila perlu dengan disesuaikan kepada keperluan perseorangan. Tujuan pokoknya hendaknya sama dengan tujuan sekolah dasar yaitu mementingkan perkembangan kepribadian siswa, kewarganegaraan dan kehidupan dalam masyarakat. Dalam sekolah lanjutan pertama itu hendaknya ada kesempatan untuk belajar bekerja”. Berbeda dengan sistem lama Misi itu menganjurkan hendaknya sekolah lanjutan pertama itu tidak memungut biaya, bersifat wajib dan untuk anak laki-laki maupun perempuan.
3.      Di atas sekolah lanjutan pertama itu hendaknya ada sekolah lanjutan atas 3 tahun dan dapat dimasuki oleh barang siapa saja yang mau masuk ke situ, laki-laki maupun perempuan. Demikaian Laporan Misi tersebut. Sekolah itu banyak persamaannya dengan sekolah menengah atas komprehensif di Amerika, artinya mengajarkan mata pelajaran yang menyiapkan siswa untuk masuk perguruan tinggi dan memperoleh keterampilan kerja.
4.      “Laporan” Misi itu memberi tekanan pada pentingnya peranan potensial dari universitas untuk memupuk pikiran-pikiran liberal, mendesak supaya universitas “terbuka bagi orang banyak, bukan hanya bagi sekelompok orang” dan mengemukakan bahwa universitas dengan suasananya yang liberal memberikan suatu tempat yang lebih baik buat pendidikan guru daripada sekolah-sekolah guru yang berdiri sendiri-sendiri menurut sistem lama.
Ciri pokok tersebut menetapkan susunan pendidikan dasar pendidikan yang keseluruhannya terdiri atas 6-3-3-4. Yang artinya tahap-tahap pendidikan Jepang terdiri atas empat tahapan yang memiliki tujuan, visi, misi, yang khusus pada setiap jenjang tahapannya.
Rekomendasi Misi Pendidikan Amerika Serikat tersebut diterima dan dimasukkan dalam Undang-Undang Pendidikan Sekolah tahun 1947. Sehingga banyak perombakkan dalam pendidikan di Jepang, termasuk fasilitas sekolah yang harus dibangun secara cepat karena hancur akibat perang. Selain itu perubahan sistem pendidikan wajib belajar dari enam tahun menjadi sembilan tahun membuat siswa yang akan melanjutkan ke sekolah menengah harus diundur.
Misi Pendidikan Amerika Serikat menerapkan sistem desentralisasi kekuasaan dalam bidang pendidikan karena menurutnya pendidikan yang dikuasai secara sentralistik atau terpusat akan berbahaya, yakni akan mudah dipermainkan dan dieksploitasi oleh kekuatan dalam atau dari luar sistem itu sendiri. Sistem desentralisasi menuntut disetiap daerah memiliki dinas yang mengelola pendidikan sekolah seperti yang ada di Amerika. Namun penerapan desentralisasi mendapat kendala dalam keuangan, pengalaman administratif, dan kebijakan politik untuk mengelola sekolah mereka sendiri. Sehingga lahirlah pendangan serta pendapat mengenai penerapan sistem desentralisasi dan menyulitkan Dewan Perwakilan Rakyat dalam merancang undang-undang mengenai prosedur penyerahan kekuasaan dan administrasi ke daerah.
Pada tahun 1949 Parlemen mengeluarkan undang-undang penetapan sekolah-sekolah yang dikelola oleh dewan-dewan sekolah melalui pemilihan. Tanggung jawab mengenai sekolah dipercayakan pada dewan pendidikan yang dipilih masyarakat setempat; wewenang kementerian pendidikan dari sisi buku pelajaran dan kurikulum diperkecil. Namun dilaksanakan enam tahun kemudian. Berbeda dengan di universitas yang sama sekali menolak penerapan sistem desentralisasi tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Misi Pendidikan Amerika Serikat tidak dapat melaksanakan sistem desentralisasi dalam pendidikan sesuai yang diharapkan.
Pendudukan Amerika menerapkan pendidikan yang egalitarian. Berbeda dengan pendidikan di Jepang menjelang perang yang menanamkan tema-tema kebangsaan, pada masa pendudukan lebih mengutamakan tema-tema kemanusiaan dan egalitarian. Di masa sesudah perang, semua fasilitas pendidikan disetiap daerah dimajukan dan disamakan sehingga tidak berat sebelah, tidak ada perbedaan kurikulum bagi laki-laki maupun perempuan, dan tidak melihat siswa dari status sosialnya. Sehingga pendidikan di Jepang dapat dilaksanakan dengan adil.
Selain itu ada pula penghapusan materi atau penarikan buku-buku pelajaran, rencana penghapusan tulisan Jepang (kanji, hiragana, dll), penghapusan indoktrinasi Shinto di sekolah. Namun untuk penghapusan tulisan Jepang mengalami kesulitan. Ini menyebabkan pelajaran menulis dan membaca membutuhkan waktu yang terbanyak. Sejak lama telah ada suatu gerakan yang menghendaki dipakainya abjad, akan tetapi sangat sulit untuk menjalankan fikiran ini di dalam praktek, bukan saja kesulitan mengenai adat kebiasaan, akan tetapi juga yang bercorak ilmu pengajaran dan tekniknya (Sluimers, 1952: 122).
Pendidikan tidak hanya di sekolah tetapi dirumahlah yang berperan penting dalam melaksanakannya pendidikan, sekolah hanyalah memberi perhatian khusus kepada anak-anak mereka. Terutama dengan adanya persaingan dalam ujian yang membuat orang tua menjadi egois sehingga guru dapat memperlakukan semua siswa seadil-adilnya, yakni guru tidak keberatan dalam memberi perhatian kepada siswa-siswa yang lambat dalam menerima pelajaran.
Pendidikan Jepang terdiri atas sistem 6-3-3-4 dimana siswa wajib mengemban:
1.      Sekolah Dasar (Shōgakkō) selama 6 tahun
Pendidikan 9 tahun dari SD hingga SMP merupakan pendidikan wajib yang harus diikuti oleh setiap siswa yang ada di Jepang dimana pendidikan tersebut menjadi dasar-dasar pembentukan kepribadian, watak, dan prilaku. Sehingga pemerintah Jepang sengaja membebaskan biaya pendidikan untuk tingakat SD hingga SMP. Pendidikan wajib di Jepang diikuti oleh siswa yang berusia 6-15 tahun.
Pada Sekolah Dasar, murid-murid akan diajarkan bahasa Jepang, pengenalan lingkungan hidup, musik, menggambar, olahraga, kerajinan tangan, pelajaran-pelajaran topik, ilmu-ilmu sains, aritmatik, homemaking, dan sosial. Pada pelajaran mengenai ilmu sosial murid-murid Sekolah Dasar ini diberikan pendidikan moral, berpartisipasi dalam aktivitas sosial, dan lain-lain. Pada Sekolah Dasar dipimpin oleh seorang guru kelas yang menguasai seluruh mata pelajaran yang akan diajarkan kepada para siswanya.

2.      Sekolah Menengah Pertama (Chūgakkō) selama 3 tahun
Murid SMP diajarkan pendidikan bahasa Jepang, bahasa Inggris, bahasa asing, ilmu-ilmu sosial, matematika, sains, musik, kesehatan, pendidikan jasmani, seni, industri, kesejahtraan keluarga, homemaking. Semua pelajaran tersebut diberikan pada hari-hari berbeda dalam seminggu tanpa ada pengulangan mata pelajaran yang sama dalam seminggu. Pada pelajaran mengenai ilmu sosial murid-murid SMP juga diberikan pendidikan moral, berpartisipasi dalam aktivitas sosial, dan lain-lain. Setiap mata pelajaran di kelas dipimpin oleh guru-guru yang berbeda sesuai dengan mata pelajaran masing-masing. Untuk pendidikan wajib (SD dan SMP) tidak dikenakan biaya apapun terkecuali untuk biaya makan siang, kunjungan lapangan, tamasya, dan alat tulis menjadi tanggungan orang tua murid masing-masing.

3.      Sekolah Menengah Atas (Koutougakkou) selama 3 tahun
Untuk melanjutkan pendidikan pada tingkat SMA setiap calon siswa harus mengikuti ujian saringan masuk pada SMA tujuan masing-masing. Karena ujian tersebut dikatakan cukup sulit makan setiap calon siswa yang akan mengikuti ujian saringan masuk disarankan untuk mengikuti bimbingan belajar di sebuah lembaga khusus seperti di juku atau yobiko untuk meningkatkan kemampuan dan kesiapan siswa pada tes saringan masuk menuju jenjang SMA.

Pendidikan tingkat ini terbagi atas 3 jenis kelas :
a.      Full Time: Berlangsung selama 3 tahun penuh, sesuai dengan Sekolah Menengah Atas pada umumnya dan rata-rata siswa Jepang memilih pendidikan Full Time seperti ini. Siswa dituntut harus mengikuti 80 kredit mata pelajaran, siswa kelas satu harus mengikuti mata pelajaran wajib, sedangkan untuk siswa kelas dua dan tiga diperbolehkan memilih 4 mata pelajaran wajib ditambah 14 kredit mata pelajaran sesuai dengan kebutuhannya pada perencanaan karier masa depannya.
b.     Part Time:  Pendidikan ini diberikan pada waktu malam hari disesuaikan dengan waktu yang dimiliki mahasiswa yang mengikuti kerja part time dan dianggap setara dengan Diploma dan memakan waktu lebih dari 3 tahun. Jenis pendidikan ini hanya berlaku di universitas pada kelas-kelas karyawan seperti di Indonesia. Part Time pada pendidikan Jepang terbagi menjadi dua kelas yaitu:
1.          Daytime Part Time Course: Siswa dinyatakan lulus apabila telah mengambil mata kuliah sebanyak 74 kredit. Dalam menempuh pendidikan tersebut siswa dapat menghabiskan waktu selama empat hingga 6 tahun dibangku sekolah, mata pelajaran yang ditawarkan berupa mata pelajaran berupa pilihan dengan sistem belajar menyerupai pola pembelajaran di universitas dimana siswa tersebut menentukan sendiri mata pelajaran yang akan diambil pada setiap semesternya. Sehingga jenis pendidikan ini dapat dikatakan setara dengan Diploma.
2.          Evening Part Time Course : Siswa dinyatakan lulus apabila telah menempuh 74 kredit mata pelajaran sama seperti pendidikan Daytime Part Time Course dengan lama waktu pendidikan sekitar tiga hingga 4 tahun. Jenis pendidikan ini diperuntukan bagi siswa yang bekerja pada siang hari sehingga siswa dapat mengambil kelas pada waktu sore ataupun malam disesuaikan dengan waktu kerjanya.

c.      Correspondence : Jenis pendidikan ini merupakan kombinasi antara Full Time dan Part Time dengan menawarkan cara pembelajaran yang khas yaitu siswa tidak perlu setiap hari menghadiri pelajaran dikelas dan cukup hadir tiga kali dalam satu bulan dengan kredit yang harus dikumpulkan sebanyak 74 kredit, course ini juga diperuntukan bagi siswa yang hanya ingin sekedar belajar dan meningkatkan pengetahuan tanpa berniat untuk mendapatkan ijazah atau kelulusan. Rata-rata yang mengambil course ini siswa-siswa yang berusia sekitar 15-30 tahun.
Tugas siswa pada course ini lebih ditingkatkan pada pembelajaran sendiri dirumah. Siswa diberikan tugas-tugas yang diselesaikan dirumah berdasarkan buku panduan, dengan tetap mengikuti ujian pada tiap-tiap semester. Tugas membuat laporan menentukan nilai siswa tersebut dan tugas dikirimkan melalui pos ke sekolah dan guru akan segera menilai hasil pekerjaan yang dibuat oleh siswa-siswanya. Setelah pemeriksaan guru akan mengirim balik hasil tugas tersebut disertai dengan penilaian. Untuk mendaftar pada jenis pendidikan ini setiap calon siswa harus mengikuti tes.
Jurusan pada SMA di Jepang dikategorikan kedalam beberapa jenis yaitu jurusan umum (akademis), pertanian, teknik, perdagangan, perikanan, ekonomi, dan perawatan. Semua jursan tersebut disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku di negara tersebut.

4.      4 tahun atau lebih untuk jenjang Perguruan Tinggi (Daigaku).
Pada universitas terdapat pendidikan untuk menempuh gelar sarjana S1 bergelar Bachelor’s Degree ditempuh selama 4 tahun (untuk mahasiswa kedokteran dan dokter gigi menempuh pendidikan selama 6 tahun) dan Pascasarjana S2 Master’s Degree ditempuh selama 2 tahun dan S3 Doctor’s Degree ditempuh selama 5 tahun.

Guru dan Perserikatan Guru
            Pada masa Pendudukan Amerika terdapat dua golongan dalam pendidikan yang berbeda ideologi, yakni golongan konservatif dan progresif. Golongan konservatif lebih menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional sedangkan golongan progresif lebih memilih kebudayaan yang modern yang tergabung dalam perserikatan guru atau Nikkyoso. Motivasi kaum guru membentuk perserikatan ini sangat beragam, namun yang utama adalah untuk mendapat perbaikan kondisi ekonomi mereka. Walaupun berbeda ideologi namun ada persamaan pandangan dalam pendidikan mereka, yakni memandang pentingnya pendidikan untuk memajukan kebudayaan namun menurut persepsi masing-masing dan memandang pendidikan sebagai alat mempropagandakan pandangan-pandangan mereka.
            Banyak perbedaan pandangan dari kedua golongan ini, misalnya golongan konservatif lebih menginginkan pendidikan di sekolah mengajarkan menganai nilai-nilai, pengendalian diri, kewajiban, tanggung jawab, dan loyalitas. Sedangkan golongan progresif tidak menyetujui keinginan kaum konservatif dikarenakan jika diterapkan maka struktur-struktur kelas dalam budaya Jepang—yang ingin mereka hapuskan—akan tetap ada.
            Kedua golongan ini sama kuat, tetapi keduanya tidak dapat menguasai dalam bidang pendidikan secara mutlak. Golongan konservatif lebih besar pengaruhnya dalam hal keuangan dan kurikulum. Sedangkan kaum progresif lebih berpengaruh perannya dalam lingkungan sekolah maupun kelas serta diperkuat dengan adanya Nikkyoso.
            Pada mulanya, Misi Pendidikan Amerika Serikat memperbolehkan dibentuknya perserikatan guru karena berpandangan bahwa pendidikan akan lebih efektif jika diurus oleh mereka sendiri dan mempermudah mengembangkan program ekstensif untuk membantu guru-guru Jepang dalam menerapkan pendidikan yang demokratis. Akan tetapi perkembangan selanjutnya Pemerintah Pendudukan menarik kembali keputusan dibentuknya perserikatan guru akibat adanya isu masuknya komunisme internasional ke dalam tubuh Nikkyoso.
Akan tetapi setelah Pendudukan serta Misi Pendidikan Amerika Serikat meninggalkan Jepang pada tahun 1952, pengaruh Nikkyoso masih tetap ada dan tidak ada perubahan dalam hubungan dengan golongan konservatif.
                       
Penutup
Jepang mengalami dua kali pembaharuan, pertama, adalah pada masa Meiji yang bebas belajar dari bangsa Barat sesuai dengan kebutuhannya. Namun kemajuan yang pesat yang dialami oleh Jepang membuat Jepang memasuki kancah Perang Dunia II melawan Sekutu dan salah satu faktor masuknya Jepang dalam peperangan adalah adanya nilai-nilai dalam pendidikan yang memicu perang dan konflik kelas dalam sistem Pendidikan Jepang.
            Akhir Perang Dunia II, Jepang harus menerima kenyataan bahwa Jepang dalam posisi kalah dan menempatkannya sebagai penjahat perang sehingga harus menerima isi Deklarasi Postdam. Deklarasi ini membuat Amerika Serikat menduduki Jepang dan mengirimkan tentara serta Misi Pendidikan Amerika Serikat ke Jepang guna melakukan pembaharuan dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan. Ini lah pembaharuan  kedua yang dialami Jepang dan harus menerima apapun yang di perintahkan oleh Pemerintahan Pendudukan.
Tujuan utama Pendudukan Tentara Amerika Serikat dengan Misi Pendidikan Amerika Serikat adalah untuk menghapuskan paham ultranasionalisme dan militerisme karena menimbulkan kecenderungan yang sangat ekstrim terhadap Jepang sehingga terlibat perang, dan menciptakan pendidikan yang demokratis serta egalitarian. Oleh karena itu,  Pemerintah Pendudukan merombak sistem pendidikan lama dengan sistem pendidikan baru yang berfalsafah demokratis dan manusiawi yang tercantum dalam konstitusi dan undang-undang pokok pendidikan. Selain itu, Pemerintah Pendudukan menerapkan sistem desentralisasi dalam bidang pendidikan, walaupun kurang berhasil.
Setelah masa pendudukan Amerika Serikat, sistem pendidikan Jepang dibangun atas dasar prinsip-prinsip:
1.      Legalisme : Pendidikan di Jepang tetap mengendepankan aturan hukum dan melegalkan hak setiap individu untuk memperoleh pendidikan tanpa mendiskriminasikan siapapun, suku, agama, ras, dan antar golongan berhak mendapatkan pendidikan yang layak.
2.      Adminstrasi yang Demokratis : pendidikan di serahkan kepada dewan sekolah yang dipilih dan negara memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk memperoleh pendidikan dengan biaya yang masih terjangkau oleh masyarakatnya. Biaya pendidikan Jepang di usahakan untuk bisa dijangkau sesuai keuangan masyarakatnya, memberikan beasiswa bagi siswa yang berprestasi ataupun kurang mampu.
3.      Egalitarian : Pendidikan Jepang diberikan sama rata kepada seluruh wilayah Jepang dan  kepada setiap siswa dengan tingkat pendidikan masing-masing dengan mengedepankan pandangan persamaan derajat setiap siswanya tanpa membeda-bedakan latar belakang materil, asal-usul keluarga, jenis kelamin, status sosial, posisi ekonomi, suku, agama, ras, dan antar golongan.
4.      Desentralisasi :  Penyebaran kebijakan-kebijakan pendidikan dari pemerintah pusat secara merata kepada seluruh sekolah yang ada dinegara tersebut sehingga perkembangan dan kemajuan sistem pendidikan sehingga dapat diikuti dengan baik.
Ketika Pemerintahan Pendudukan meninggalkan Jepang pada tahun 1952, pembaharuan-pembaharuan yang diterapkan di Jepang masih tidak jelas hasilnya akan tetapi bangsa Jepang-lah yang menentukan kesudahannya.
















Daftar Pustaka
Cummings, William. K. (1984). Pendidikan dan Kualitas Manusia di Jepang. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Matullada. (1979). Pedang dan Sempoa (Suatu Analisa Kultural “Perasaan dan Kepribadian” Orang Jepang). Departemen Pendidikan dan Kebudayan.
Mente, Boye De. (2009). Misteri Kode Samurai Jepang. Jogjakarta: Garailmu.
Nurhayati, Yeti. (1987). Lamgkah-Langkah Awal Modernisasi Jepang. Jakarta: PT Dian Rakyat.
Rosidi, Ajip. (1981). Mengenal Jepang. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sluimers, B. (1952). Jepang. Jakarta: Djambtan.
Wheeler, Keith et al. (1987). Pemboman di Atas Jepang. Jakarta: PT Tira Pustaka.
____________. (1990). Negara dan Bangsa: Asia. Australia. Selandia Baru. Osean. Eropa—jilid 4 . Jakarta. Grolier International, inc.
____________. (-). Ensiklopedia Indonesia Seri Geografi: Asia. - : -.
A, Try Setiadi. Seperti apa sistem kurikulum pendidikan di Jepang? Yuk, lihat bersama!. [ONLINE]. Tersedia: https://japanesestation.com/seperti-apa-sistem-kurikulum-pendidikan-di-jepang-yuk-lihat-bersama/



Tidak ada komentar:

Posting Komentar