Abstrak
Pada tanggal 14 agustus 1945,
sejumlah 602 industri perang dan instalasi militer Jepang yang penting telah
dibinasakan atau rusak hebat; pelayaran di Laut Pedalaman dapat dikatakan
lenyap; dan hampir separuh dari seluruh kawasan di 66 kota—445 kilometer persegi—rata
dengan tanah (Wheeler, 1987: 197). Pernyataan Wheeler ini membuat kita dapat
membayangkan hancur leburnya kondisi Jepang setelah sekutu menjatuhkan bom-bom
atomnya. Akan tetapi jika melihat Jepang saat ini sangat berbeda dengan apa
yang dideskripsikan oleh Wheeler, bahkan sisa-sisa perang tidak terlihat di
negara yang kini sangat mengecam perang. Jepang saat ini menjadi negara besar
dan sangat diperhitungkan di dunia. Amerika Serikat yang pernah menduduki
Jepang pasca Perang Dunia II tentu memberi kontribusi dalam perkembangan Negeri
Matahari Terbit. Pembangunan dan pembaharuan banyak dilakukan oleh Tentara
Pendudukan Amerika, tidak terkecuali dan terpenting adalah perubahan yang
dilakukan dalam bidang pendidikan. Artikel ini menjelaskan perubahan-perubahan sistem
pendidikan yang dilakukan Tentara Pendudukan Amerika di Jepang Pasca Perang
Dunia II yang mengkontribusi kemajuan Jepang dalam bidang pendidikan.
Perkembangan Pendidikan Jepang Pasca Perang Dunia II (1945-1952): Masa Pendudukan Tentara Amerika
Sumber gambar: japanesestation.com
Pendahuluan
Jepang merupakan suatu negara yang
terletak di ujung timur Asia yang padat penduduk. Permukaan wilayahnya yang
bergunung-gunung membuat bangsa Jepang terbebas dari pengaruh negara-negara
lain. Faktor geografis suatu negara atau wilayah dapat memengaruhi suatu
kebijakan politik pemerintahan suatu rezim yang berkuasa seperti yang
dikemukakan oleh Nurhayati (1987: 17) salah satu kebijakan Tokugawa pada abad
ke-17 M adalah diberlakukannya Politik Isolasi (Sakoku) yaitu Bangsa Jepang tidak melakukan hubungan dalam bentuk
apapun dengan bangsa asing. Bangsa Jepang sendiri dilarang berpergian ke luar
Negeri (Grolier International, inc, 1990: 73).
Kebijakan Sakoku membuat Jepang merasakan kedamaian dan berkembangnya
kebudayaan, namun terbelakang dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi jika
dibandingkan negara-negara Eropa yang sudah modern akibat revolusi industri. Perkembangan
bangsa Barat tidak banyak diketahui oleh Jepang sampai akhirnya kapal-kapal
perang Komodor Perry masuk Teluk Edo dan melepaskan beberapa tembakkan
peringatan dari meriam-meriamnya (Cummings, 1984: 19). Komodor Perry berasal
dari Amerika Serikat yang bertugas membuka hubungan diplomatik dan perdagangan
dengan Jepang karena wilayahnya yang sangat diperitungkan bagi bangsa Barat. Amerika dan negara-negara Barat lainnya merasa
perlu untuk menjalin hubungan dengam Jepang karena posisi Jepang yang sangat
strategis untuk membuka akses terhadap bangsa-bangsa Asia lain terutama Cina
dan Korea (Nurhayati, 1987: 34).
Golongan ksatria Jepang, Samurai, yang
merupakan golongan atas masyarakat Jepang dan terkenal dengan keberaniannya
merasa terkejut melihat teknologi militer yang tidak pernah mereka ketahui.
Golongan Samurai kemudian merasa tertantang untuk menanggapi kemajuan tersebut.
Beberapa tahun kemudian runtuhlah Rezim Tokugawa oleh angkatan muda Samurai
yang menginginkan perubahan bangsanya menjadi bangsa modern.
Berakhirnya Ke-Shogun-an Tokugawa
mengawali Kekaisaran Meiji yang bertekad membuat lembaga-lembaga Jepang lebih
modern dan menghindari dari nasib bangsa yang terjajah. Terjadilah modernisasi
atau westernisasi pada Rezim Meiji yang menjadi kategori awal Zaman Kebangkitan
oleh Mattulada. Rezim Meiji melakukan perombakaan liberal seperti di dunia
Barat, yaitu menghapus sistem feodal, menyusun suatu konstitusi dan mendirikan
suatu lembaga perwakilan politik. Perombakan ini menempatkan rakyat dibawah
kekuasaan pemerintahan pusat secara ketat yang mengakibatkan terjadinya eksploitasi
tenaga rakyat untuk pembangunan.
Usaha modernisasi dilakukan dalam tiga
bidang yang salah satunya adalah memperluas pendidikan. “Revolusi Pendidikan”
yang menciptakan suatu sistem pendidikan yang sekarang terkenal dengan nama
“sistem lama” menjadi bagian integral dari usaha rezim baru untuk mewujudkan
tujuan-tujuan ini (Cummings, 1984: 20). Selain itu, pada masa Kekaisaran Meiji
banyak orang muda Jepang yang berbakat dikirim ke Amerika Serikat dan Eropa
untuk belajar dan banyak pula orang Eropa dan Amerika Serikat diundang ke
Jepang sebagai guru. Sehingga modernisasi dalam bidang pendidikan tidak
menjadikan Jepang terjajah akan tetapi menjadi negara yang maju dan tetap
merdeka.
Kekuatan Jepang pun menjadi sangat kuat
terutama di bidang militer yang terkuat dan termodern se-Pasifik, ditambah
dengan persatuan rakyat yang semakin kokoh membuat Jepang merasa cukup kuat
sebagai sekutu Jerman untuk menentang beberapa bangsa Barat dalam Perang Dunia
II. Selain latar belakang militer dan politik, pendidikan di Jepang pun
mengkontribusi Jepang untuk masuk dalam kancah Perang Dunia II.
Pertempuran sengit pun terjadi
selama beberapa tahun. Namun Jepang harus menerima kenyataan bahwa Perang Dunia
II diakhiri dengan kekalahan Jepang. Kekalahan ini membuat Tentara Amerika
menduduki Jepang dan melakukan perombakkan secara masal sebagai suatu reaksi terhadap
ciri-ciri Jepang dari zaman sebelum perang. Pemerintahan pendudukan bertujuan
untuk menjadikan masyarakat Jepang yang demokratis dan cinta damai. Maka
terjadilah revolusi untuk kedua kalinya dalam bidang pendidikan di Jepang.
Sistem Lama Pendidikan
Jepang
Pendidikan yang ada di Jepang
terbagi atas dua periode, yang pertama adalah saat pra-Perang Dunia II dan
pasca-Perang Dunia II. Kedua periode ini memiliki perbedaan dalam kebijakan
pendidikan. Kebikajakan pendidikan pada masa sebelum Perang Dunia
II terangkum dalam Imperial Rescript of Education, yaitu Perintah Kaisar
mengenai pendidikan. Imperial Rescript of Education menanamkan nilai-nilai
positif secara mendalam dan kokoh dalam pribadi setiap kaisar. Materi
pembelajarannya bertujuan untuk menerapkan nilai-nilai kesetiaan dan kepatuhan
dari generasi kegenerasi dengan tetap menerapkan etetika.
Selain itu, filsafat
pendidikan Jepang dalam sistem lama dirumuskan oleh menteri Pendidikan pada
masa Meiji, yaitu Mori Arinori yang tetap diterapkan sampai akhir Perang Dunia
II. Sistem pendidikan yang dirancang oleh Mori (Cummings, 1984: 21), yaitu:
1.
Pendidikan
Spritual
Semua
pemuda di Jepang wajib belajar 4 tahun di sekolah dasar. Selama itu,
pemuda-pemuda Jepang di berikan pembelajaran kognitif dasar dan azas-azas moral
bangsa dan tema dalam kurikulum tersebut adalah adanya perbedaan pembelajaran
yang diberikan untuk laki-laki dan perempuan dalam mencapai tujuan nasional.
Kaum laki-laki diberikan pembelajaran sesuai dengan tempatnya dalam dunia
pekerjaan, sedangkan perempuan dalam rumah-tangga.
2.
Integrasi
Bangsa
Pada
masa ke-Shogun-an, kesetiaan prajurit dan rakyat ditujukan kepada pembesar
setempat. Maka ini menjadi tantangan bagi Kekaisaran Meiji untuk merombak
kesetiaan lokal itu. Kurikulum tentang pendidikan spiritual berisikan tema yang
berpusat pada kesetiaan pada Raja dan tujuan nasional, keduanya merupakan alat
paling utama dalam mencapai tujuan nasional.
3.
Memilih
Golongan Elit Berdasakan Prestasi
Mori
telah menciptakan macam-macam perguruan tinggi antara sekolah dasar dan
Imperial University. Imperial University bertugas memilih golongan bangsa elit
bangsa dan memberikan kepadanya pendidikan yang luas yang cocok dengan peranan
golongan elit.
4.
Tenaga
Kerja dengan Kecakapan Teknis
Mori
telah menciptakan macam-macam perguruan tinggi antara sekolah dasar dan
Imperial University. Perguruan-perguruan itu merupakan suatu sistem yang
beraneka ragam di atas sekolah-wajib. Jalur-jalur lainnya menuju ke berbagai
sekolah kejuruan.
Pendidikan di Jepang sebelum Perang
Dunia II bersifat nasionalistik yang mulai diterapkan pada pendidikan di
sekolah dasar dan kurikulum bertema nasional mulai dimasukkan. Melalui
pendidikan pemerintah berusaha sekuat-kuatnya menanamkan pendidikan budi
pekerti terhadap masyarakat Jepang untuk mencapai tujuan nasional yang
menekankan pada pendidikan moral.
Pendidikan moral dimasukkan ke dalam kurikulum yang
awalnya menggunakan buku-buku dari Perancis yang kemudian Jepang dapat membuat
buku berisi pendidikan moral sendiri. Pendidikan moral tersebut menghasilkan
hubungan yang harmonis antara individu dengan lingkungannya, kesetiaan dan
kepatuhan kepada orang tua, suami, istri, sahabat, menjadi diri sendiri yang
moderat dan sederhana, serta menuntut ilmu sedalam mungkin dan diimbangi dengan
jiwa seni. Tetapi kemudian pendidikan moral disalahgunakan oleh pihak militer
untuk menanamkan doktrin-doktrin kepada pemuda Jepang.
Sejak tahun 1880an, kementerian pendidikan
telah meningkatkan pengawasan terhadap pendidikan moral, pertama-tama dengan
melarang terjemahan buku-buku asing mengenai moral, dan kemudian menerbitkan
sendiri buku-buku yang menjurus kepada nilai-nilai tradisional. Pendidikan yang
bertenma ultranasionalis pun dimulai. Nilai-nilai tradisional seperti kesetiaan
terhadap kaisar, rasa cinta tanah air, rasa hormat kepada orang tua, dan
memiliki harga diri, serta nilai-nilai ajaran konfusius diterapkan.
Mori menanamkan cara berfikir militer
dalam kepribadian guru secara mendalam dan mengubah seluruh rutinitas kehidupan
sekolah normal menjadi pola militeristik. Siswanya pun dididik secara militer
yang bertujuan membentuk manusia Jepang yang rajin, tegas, disiplin dan berjiwa
nasionalis tinggi.
Masa kekaisaran Meiji telah
membangun Imperial University yang kemudian menjadi lembaga pendidikan yang
terbesar dan menjanjikan jabatan-jabatan elite. Beberapa tahun setelah
dibangunnya Imperial University, universitas ini menjadi favorit di kalangan
pemuda dan diperlukan usaha keras untuk dapat diterima di tersebut. Namun
perkembangan selanjutnya, Imperial University tidak dapat memenuhi banyaknya
permintaan untuk menambah kuota mahasiswa yang dapat diterima. Oleh karena itu,
pemerintah mendirikan berbagai Imperial University ditempat-tempat lain,
seperti di Tohoku, Hokkaido, Kyushu, Nagoya, dan Osaka.
Banyaknya universitas dan mahasiswa
didalamnya berbanding lurus dengan banyaknya lulusan. Menurut Cummings (1984:
35) di Jepang ada kurang lebih 40.000 mahasiswa, setiap tahun menyelesaiakan
hampir 15.000 mahasiswa. Namun perekonomian Jepang tidak dapat menyerap tenaga
pendidikan yang dihasilkan universitas-universitas tersebut. Akibatnya banyak
lulusan universitas yang bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan keahliannya
dan diantara mereka ada yang menjadi pemimpin pergolakan. Akan tetapi lulusan
universitas tersebut mendapat kedudukan tertinggi dalam pekerjaannya dengan
pertimbangan mereka berpendidikan tinggi lulusan universitas, walaupun tidak
sesuai dengan keahliannya. Sehingga kasus ini membuat Jepang mengidap “penyakit
ijazah”.
Masyarakat Jepang dengan berbagai
golongan dapat memperoleh pendidikan tinggi jika mampu membayar biayanya karena
biaya di universitas sangatlah tinggi, kecuali pendidikan guru dan militer.
Namun tetap terdapat hak-hak istimewa yang diberikan untuk golongan elite.
Mereka dengan mudah mendapatkan nilai-nilai yang tinggi, lulus ujian dengan
mudah, dan dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Akibatnya
banyak pihak, terutama pemuda miskin yang kecewa dengan sistem pendidikan
tersebut. Setelah dewasa mereka yang masuk sekolah guru dan militer memiliki
rasa kecemburuan sosial dan membuat mereka mendukung golongan ultranaionalis
yang tidak puas dengan keadaan. Mereka menentang golongan yang mujur nasibnya
dan mendesak dilakukannya perang mencari jajahan (Cummings, 1984: 36).
Jepang bergabung dengan Jerman untuk
melawan Sekutu, terjadilah Perang Dunia. namun Jepang harus menelan
kekalahannya dan menerima Deklarasi Postdam.
Latar Belakang
Perubahan yang Dilakukan Tentara Pendudukan
Kekalahan Jepang dalam
Perang Dunia II menyebabkan negara ini kehilangan kedaulatannya dan dikuasai
oleh Sekutu. Berdasarkan isi dari Deklarasi Potsdam, Sekutu sebagai pihak
pemenang dalam Perang Dunia II mempunyai hak untuk menduduki Jepang. Angkatan perang Jepang meletakan senjata pada
tanggal 15 Agustus 1945. Sore harinya, Kaisar Hirohito permaklumkan “Penyerahan
senjata tanpa syarat” kepada Sekutu melalui radio kepada seluruh bangsanya (Mattulada,
1979: 185). Rakyat Jepang merasa sedih namun juga melegakan mendengar keputusan
itu, lega karena bebas dari rasa takut terhadap ancaman perang. Akan tetapi
keputusan Kaisar tidak begitu saja di terima, terutama bagi golongan militaris
karena berlainan dengan mentalitas Bushido (sistem etika yang dianut oleh
kelompok ksatria yang terkenal di Jepang, Samurai, bertekad bertarung sampai
nafas terakhir). Namun berbeda pula dengan perasaan bagian banyak rakyat yang
menerima dengan lapang keputusan Kaisar karena penyerahan tersebut di sampaikan
langsung oleh Kaisar. Bagaimanapun mereka berperang atas nama Kaisar dan kini
Kaisar sendiri yang meminta untuk menghentikan perang dan menyerahkannya kepada
tentara Sekutu. Akhirnya semua pihak menerima keputusan tersebut, sebab tidak
ada alasan lain selain menjunjung tinggi titah Kaisar.
Beberapa minggu kemudian setelah
Kaisar menerima Deklarasi Postdam, Panglima Tertinggi Angkatan Perang Sekutu di
Pasifik, Jenderal Douglas MacArthur mendarat di Atsugi pada tanggal 30 Agustus
1945 dengan keadaan yang tenang dan aman. Piagam penyerahan ditandatangani pada
tanggal 2 September 1945 di atas kapal-perang Amerika Serikat yang berlabuh di
teluk Tokyo. Komando tertinggi Pasukan Pendudukan Sekutu (SCAP—Supreme Command for the Allied Powers) ditetapkan hari itu
juga dengan Jenderal MacArthur sebagai Panglimanya (Mattulada, 1979: 186).
Pendudukan Sekutu dapat dikatakan
sebagai pendudukan Amerika Serikat yang merupakan penanaman paham-paham dan
perilaku Barat untuk kedua kalinya semenjak Restorasi Meiji. Akan tetapi tentu
ini sangat berbeda. Saat Periode Meiji, Bangsa Jepang bebas belajar dari Barat
sesuai dengan keperluan mereka sehingga mereka dapat menyeleksinya. Akan tetapi
kini Jepang dipaksa untuk menelan apa saja yang diberikan oleh bangsa Barat,
khususnya Amerika dan membuat mereka harus mengikuti apa yang diperintahkan.
Jenderal MacArthur mendapat wewenang
absolut atas Jepang termasuk Kaisar. Akan tetapi MacArthur tidak gegabah dalam
membuat kebijakan karena ia memahami sistem pemerintahan Jepang yang tunduk
patuh kepada Kaisar. Ini membuat MacArthur memerintah secara tidak langsung dan
hanya melalui aparat politik dan administrasi yang ada di Jepang, tentunya yang
sudah diatur olehnya sehingga membuat kekuasaan Pendudukan terhindar dari
konflik.
Pendudukan Tentara Amerika
mendapatkan kesuksesan dalam program-programnya karena program tersebut memang
sudah direncanakan oleh Jepang sebelum Perang Dunia II. Seperti landreform dan hak pilih bagi kaum perempuan. Akan tetapi reformasi dalam bidang
pendidikan tidak berjalan dengan lancar.
Pola pendidikan di Jepang disamakan
dengan yang diberlakukannya di Amerika, sistem persekolahan Sekolah Dasar 6
tahun; Sekolah Menengah 3 tahun; Sekolah Menengah Atas 3 tahun; dan Perguruan
Tinggi 4 tahun. Orang Jepang menerima diadakannya wajib belajar menjadi 9
tahun, akan tetapi tidak menyukai sistem baru mengenai Pendidikan Perguruan
Tinggi karena dirasakan menjadi stereotyped
dan penurunan kualitas.
Pemerintah Pendudukan mengeluarkan
perintah yang bertujuan menghapus semua pengaruh militer dan ultranasionalis (Cummings,
1984: 38). Mata pelajaran budi pekerti, ilmu bumi, dan sejarah Jepang di
tangguhkan karena ketiga pelajaran tersebut dianggap menunjang ideologi perang
di masa lalu. Pejabat-pejabat di bidang pendidikan serta guru-guru yang telah
berjasa menanamkan ideologi tersebut di sebelum perang dipecati. Adapun yang
mengundurkan diri untuk menghindari ancaman pembersihan tersebut. Selain itu,
dalam bidang bisnis dan kesenian pun di lakukan pembersihan serta unsur-unsur
nasionalistis dimasa lalu yang memiliki kedudukan tinggi di singkirkan yang
kemudian di ganti dengan orang-orang berpaham liberal guna mempermudah
Pemerintahan Pendudukan melaksanakan program perubahan. Namun menurut Sluimers
dalam bukunya yang berjudul Jepang (122)
ia menyatakan bahwa dari 647.000 orang guru-guru itu sejumlah 5.700 tidak
diberi hak lagi untuk mengajar, ini adalah suatu bukti, bahwa sebenarnya
tindakan yang dilakukan pemerintah pendudukan itu tak dijalankan dengan
tajam-tajam benar.
Sistem pendidikan yang lama diatur
oleh suatu dekrit kerajaan dan keputusan pemerintah. Sedangakan sistem
pendidikan yang baru didasarkan Undang-Undang yang diusulkan dan disahkan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat. Perubahan ke dasar legislatif serta munculnya
partai-partai politik progresif yang menaruh minat kepada kebijakasanaan
pendidikan melahirkan dialog tentang pendidikan di masa sesudah Perang Dunia II
(Cummings, 1984: 39).
Filsafat Pendidikan
yang Baru
Tentara Pendudukan mendatangkan
ahli-ahli pendidikan bangsa Amerika ke Jepang pada bulan Maret 1947. Ahli-ahli
pendidikan itu terkenal dengan sebutan “Misi Pendidikan Amerika Serikat ke
Jepang” (Cummings, 1984: 40). Misi itu menyebut berbagai kelemahan yang ada
dalam sistem pendidikan lama.
Sistem pendidikan
Jepang yang lama dan kurikulumnya sangat memerlukan pembaharuan sesuai dengan
teori-teori pendidikan modern sekalipun sistem itu tidak mengandung
ultranasionalisme dan militerisme. Sistem itu didasarkan kepada pola abad ke
sembilanbelas yang seluruhnya diatur dari satu pusat sehingga ada suatu jenis
pendidikan buat rakyat kebanyakan dan suatu jenis lagi buat sekelompok
orang-yang mempunyai hak-hak istimewa dan yang jumlahnya lebih banyak. Pada
tiap tingkat pendidikan ada suatu kuantum pengetahuan yang harus diserap oleh
siswa, perbedaan kepentingan siswa dan perbedaan kemampuannya umumnya
diabaikan. Karena ada petunjuk-petunjuk yang harus diturut, buku-buku teks yang
harus dipakai, ujian dan pengawasan maka sistem itu mengurangi kemungkinan guru
untuk melakukan tugasnya dengan lebih bebas. Efisiensi sistem itu bergantung
kepada hal sampai di mana standarisasi dan uniformitas itu telaksana (Cummings,
1984: 40).
Pernyataan tersebut dapat terlihat
bahwa filsafat yang diterapkan oleh Misi tersebut yaitu menghapus paham
ultranasionalisme dan militerisme, dan lebih demokratis. Untuk melaksanakan
rekomendasi Misi itu dibentuk suatu Dewan Pembaharuan Pendidikan resmi
setingkat dengan Menteri Pendidikan (Cummings, 1984: 41) dan tujuan pendidikan
dalam sistem baru tersebut, Anderson (Cummings, 1984: 41) adalah mengembangkan
seutuhnya, berusaha sekuat-kuatnya mendidik rakyat supaya sehat rohaniah maupun
jasmaniah, mencintai kebenaran dan keadilan, menghormati nilai indivudu,
menghormati kerja dan mempunyai kesadaran akan tanggung jawab sedalam-dalamnya
serta berjiwa bebas sebagai pembina suatu negara dan masyarakat yang penuh
kedamaian.
Struktur Sistem Baru
Setelah
berakhirnya Perang Dunia ke II yaitu pada tanggal 3 November 1946, kebijakan
pendidikan Jepang mulai dirubah berbasis Hak Asasi Manusia, kebebasan hati
nurani, jaminan setiap individu untuk mengembangkan kebebasan berfikir,
kebebasan akademik dimana setiap individu memperoleh hak untuk mendapatkan
pendidikan sesuai dengan kemampuannya.
Untuk mewujudkan filsafah demokratis
yang baru itu maka Misi Pendidikan Amerika Serikat mendesak diadakannya suatu
struktur baru bagi pendidikan di Jepang. Ciri pokoknya adalah sebagai berikut
(Cummings, 1984: 41-42)
1. Sekolah
Dasar wajib selama enam tahun yang tidak memungut biaya “menyiapkan anak
menjadi warga yang sehat, aktif, menggunakan fikirannya dan ingin mengembangkan
kemampuan pembawaannya”.
2. Dalam
sistem yang lama ada berbagai jalur lanjutan sekolah dasar yang semuanya tidak
bersifat wajib. Misi menganjurkan “hendaknya sesudah sekolah dasar itu ada
sekolah lanjutan pertama tiga tahun lamanya buat semua siswa laki-laki maupun
perempuan dengan kurikulum yang pada dasarnya sama buat semua siswa tetapi bila
perlu dengan disesuaikan kepada keperluan perseorangan. Tujuan pokoknya
hendaknya sama dengan tujuan sekolah dasar yaitu mementingkan perkembangan
kepribadian siswa, kewarganegaraan dan kehidupan dalam masyarakat. Dalam
sekolah lanjutan pertama itu hendaknya ada kesempatan untuk belajar bekerja”.
Berbeda dengan sistem lama Misi itu menganjurkan hendaknya sekolah lanjutan
pertama itu tidak memungut biaya, bersifat wajib dan untuk anak laki-laki maupun
perempuan.
3. Di
atas sekolah lanjutan pertama itu hendaknya ada sekolah lanjutan atas 3 tahun
dan dapat dimasuki oleh barang siapa saja yang mau masuk ke situ, laki-laki
maupun perempuan. Demikaian Laporan Misi tersebut. Sekolah itu banyak
persamaannya dengan sekolah menengah atas komprehensif di Amerika, artinya
mengajarkan mata pelajaran yang menyiapkan siswa untuk masuk perguruan tinggi
dan memperoleh keterampilan kerja.
4. “Laporan”
Misi itu memberi tekanan pada pentingnya peranan potensial dari universitas
untuk memupuk pikiran-pikiran liberal, mendesak supaya universitas “terbuka
bagi orang banyak, bukan hanya bagi sekelompok orang” dan mengemukakan bahwa
universitas dengan suasananya yang liberal memberikan suatu tempat yang lebih
baik buat pendidikan guru daripada sekolah-sekolah guru yang berdiri
sendiri-sendiri menurut sistem lama.
Ciri pokok tersebut menetapkan susunan pendidikan
dasar pendidikan yang keseluruhannya terdiri atas 6-3-3-4. Yang artinya
tahap-tahap pendidikan Jepang terdiri atas empat tahapan yang memiliki tujuan,
visi, misi, yang khusus pada setiap jenjang tahapannya.
Rekomendasi Misi Pendidikan Amerika
Serikat tersebut diterima dan dimasukkan dalam Undang-Undang Pendidikan Sekolah
tahun 1947. Sehingga banyak perombakkan dalam pendidikan di Jepang, termasuk
fasilitas sekolah yang harus dibangun secara cepat karena hancur akibat perang.
Selain itu perubahan sistem pendidikan wajib belajar dari enam tahun menjadi
sembilan tahun membuat siswa yang akan melanjutkan ke sekolah menengah harus
diundur.
Misi Pendidikan Amerika Serikat
menerapkan sistem desentralisasi kekuasaan dalam bidang pendidikan karena
menurutnya pendidikan yang dikuasai secara sentralistik atau terpusat akan
berbahaya, yakni akan mudah dipermainkan dan dieksploitasi oleh kekuatan dalam
atau dari luar sistem itu sendiri. Sistem desentralisasi menuntut disetiap
daerah memiliki dinas yang mengelola pendidikan sekolah seperti yang ada di
Amerika. Namun penerapan desentralisasi mendapat kendala dalam keuangan, pengalaman
administratif, dan kebijakan politik untuk mengelola sekolah mereka sendiri.
Sehingga lahirlah pendangan serta pendapat mengenai penerapan sistem
desentralisasi dan menyulitkan Dewan Perwakilan Rakyat dalam merancang
undang-undang mengenai prosedur penyerahan kekuasaan dan administrasi ke
daerah.
Pada tahun 1949 Parlemen mengeluarkan
undang-undang penetapan sekolah-sekolah yang dikelola oleh dewan-dewan sekolah
melalui pemilihan. Tanggung jawab mengenai sekolah dipercayakan pada dewan
pendidikan yang dipilih masyarakat setempat; wewenang kementerian pendidikan
dari sisi buku pelajaran dan kurikulum diperkecil. Namun dilaksanakan enam
tahun kemudian. Berbeda dengan di universitas yang sama sekali menolak
penerapan sistem desentralisasi tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Misi
Pendidikan Amerika Serikat tidak dapat melaksanakan sistem desentralisasi dalam
pendidikan sesuai yang diharapkan.
Pendudukan Amerika menerapkan pendidikan
yang egalitarian. Berbeda dengan pendidikan di Jepang menjelang perang yang
menanamkan tema-tema kebangsaan, pada masa pendudukan lebih mengutamakan
tema-tema kemanusiaan dan egalitarian. Di masa sesudah perang, semua fasilitas
pendidikan disetiap daerah dimajukan dan disamakan sehingga tidak berat sebelah,
tidak ada perbedaan kurikulum bagi laki-laki maupun perempuan, dan tidak
melihat siswa dari status sosialnya. Sehingga pendidikan di Jepang dapat
dilaksanakan dengan adil.
Selain itu ada pula
penghapusan materi atau penarikan buku-buku pelajaran, rencana penghapusan
tulisan Jepang (kanji, hiragana, dll), penghapusan indoktrinasi Shinto di
sekolah. Namun untuk penghapusan tulisan Jepang mengalami kesulitan. Ini
menyebabkan pelajaran menulis dan membaca membutuhkan waktu yang terbanyak.
Sejak lama telah ada suatu gerakan yang menghendaki dipakainya abjad, akan
tetapi sangat sulit untuk menjalankan fikiran ini di dalam praktek, bukan saja
kesulitan mengenai adat kebiasaan, akan tetapi juga yang bercorak ilmu
pengajaran dan tekniknya (Sluimers, 1952: 122).
Pendidikan tidak hanya di sekolah tetapi
dirumahlah yang berperan penting dalam melaksanakannya pendidikan, sekolah
hanyalah memberi perhatian khusus kepada anak-anak mereka. Terutama dengan adanya
persaingan dalam ujian yang membuat orang tua menjadi egois sehingga guru dapat
memperlakukan semua siswa seadil-adilnya, yakni guru tidak keberatan dalam
memberi perhatian kepada siswa-siswa yang lambat dalam menerima pelajaran.
Pendidikan
Jepang terdiri atas sistem 6-3-3-4 dimana siswa wajib mengemban:
1. Sekolah
Dasar (Shōgakkō) selama 6 tahun
Pendidikan 9
tahun dari SD hingga SMP merupakan pendidikan wajib yang harus diikuti oleh
setiap siswa yang ada di Jepang dimana pendidikan tersebut menjadi dasar-dasar
pembentukan kepribadian, watak, dan prilaku. Sehingga pemerintah Jepang sengaja
membebaskan biaya pendidikan untuk tingakat SD hingga SMP. Pendidikan wajib di
Jepang diikuti oleh siswa yang berusia 6-15 tahun.
Pada Sekolah
Dasar, murid-murid akan diajarkan bahasa Jepang, pengenalan lingkungan hidup,
musik, menggambar, olahraga, kerajinan tangan, pelajaran-pelajaran topik,
ilmu-ilmu sains, aritmatik, homemaking, dan sosial. Pada pelajaran mengenai
ilmu sosial murid-murid Sekolah Dasar ini diberikan pendidikan moral,
berpartisipasi dalam aktivitas sosial, dan lain-lain. Pada Sekolah Dasar dipimpin
oleh seorang guru kelas yang menguasai seluruh mata pelajaran yang akan
diajarkan kepada para siswanya.
2.
Sekolah Menengah Pertama (Chūgakkō) selama 3
tahun
Murid SMP
diajarkan pendidikan bahasa Jepang, bahasa Inggris, bahasa asing, ilmu-ilmu
sosial, matematika, sains, musik, kesehatan, pendidikan jasmani, seni,
industri, kesejahtraan keluarga, homemaking. Semua pelajaran tersebut diberikan
pada hari-hari berbeda dalam seminggu tanpa ada pengulangan mata pelajaran yang
sama dalam seminggu. Pada pelajaran mengenai ilmu sosial murid-murid SMP juga
diberikan pendidikan moral, berpartisipasi dalam aktivitas sosial, dan
lain-lain. Setiap mata pelajaran di kelas dipimpin oleh guru-guru yang berbeda
sesuai dengan mata pelajaran masing-masing. Untuk pendidikan wajib (SD dan SMP)
tidak dikenakan biaya apapun terkecuali untuk biaya makan siang, kunjungan
lapangan, tamasya, dan alat tulis menjadi tanggungan orang tua murid
masing-masing.
3.
Sekolah Menengah Atas (Koutougakkou) selama 3 tahun
Untuk melanjutkan pendidikan pada tingkat SMA setiap calon siswa harus
mengikuti ujian saringan masuk pada SMA tujuan masing-masing. Karena ujian
tersebut dikatakan cukup sulit makan setiap calon siswa yang akan mengikuti
ujian saringan masuk disarankan untuk mengikuti bimbingan belajar di sebuah
lembaga khusus seperti di juku atau yobiko untuk meningkatkan kemampuan dan
kesiapan siswa pada tes saringan masuk menuju jenjang SMA.
Pendidikan
tingkat ini terbagi atas 3 jenis kelas :
a.
Full Time:
Berlangsung selama 3 tahun penuh, sesuai dengan Sekolah Menengah Atas pada
umumnya dan rata-rata siswa Jepang memilih pendidikan Full Time seperti ini.
Siswa dituntut harus mengikuti 80 kredit mata pelajaran, siswa kelas satu harus
mengikuti mata pelajaran wajib, sedangkan untuk siswa kelas dua dan tiga
diperbolehkan memilih 4 mata pelajaran wajib ditambah 14 kredit mata pelajaran
sesuai dengan kebutuhannya pada perencanaan karier masa depannya.
b.
Part Time:
Pendidikan ini diberikan pada waktu malam hari disesuaikan dengan waktu yang
dimiliki mahasiswa yang mengikuti kerja part time dan dianggap setara dengan
Diploma dan memakan waktu lebih dari 3 tahun. Jenis pendidikan ini hanya
berlaku di universitas pada kelas-kelas karyawan seperti di Indonesia. Part
Time pada pendidikan Jepang terbagi menjadi dua kelas yaitu:
1.
Daytime Part
Time Course: Siswa dinyatakan lulus apabila telah mengambil mata
kuliah sebanyak 74 kredit. Dalam menempuh pendidikan tersebut siswa dapat
menghabiskan waktu selama empat hingga 6 tahun dibangku sekolah, mata pelajaran
yang ditawarkan berupa mata pelajaran berupa pilihan dengan sistem belajar
menyerupai pola pembelajaran di universitas dimana siswa tersebut menentukan
sendiri mata pelajaran yang akan diambil pada setiap semesternya. Sehingga
jenis pendidikan ini dapat dikatakan setara dengan Diploma.
2.
Evening Part
Time Course : Siswa dinyatakan lulus apabila telah menempuh 74
kredit mata pelajaran sama seperti pendidikan Daytime Part Time Course dengan lama waktu pendidikan sekitar tiga
hingga 4 tahun. Jenis pendidikan ini diperuntukan bagi siswa yang bekerja pada
siang hari sehingga siswa dapat mengambil kelas pada waktu sore ataupun malam
disesuaikan dengan waktu kerjanya.
c.
Correspondence : Jenis pendidikan ini merupakan
kombinasi antara Full Time dan Part Time dengan menawarkan cara pembelajaran
yang khas yaitu siswa tidak perlu setiap hari menghadiri pelajaran dikelas dan
cukup hadir tiga kali dalam satu bulan dengan kredit yang harus dikumpulkan
sebanyak 74 kredit, course ini juga diperuntukan bagi siswa yang hanya ingin
sekedar belajar dan meningkatkan pengetahuan tanpa berniat untuk mendapatkan
ijazah atau kelulusan. Rata-rata yang mengambil course ini siswa-siswa yang
berusia sekitar 15-30 tahun.
Tugas siswa pada course ini lebih ditingkatkan pada
pembelajaran sendiri dirumah. Siswa diberikan tugas-tugas yang diselesaikan
dirumah berdasarkan buku panduan, dengan tetap mengikuti ujian pada tiap-tiap
semester. Tugas membuat laporan menentukan nilai siswa tersebut dan tugas
dikirimkan melalui pos ke sekolah dan guru akan segera menilai hasil pekerjaan
yang dibuat oleh siswa-siswanya. Setelah pemeriksaan guru akan mengirim balik
hasil tugas tersebut disertai dengan penilaian. Untuk mendaftar pada jenis
pendidikan ini setiap calon siswa harus mengikuti tes.
Jurusan pada SMA di Jepang dikategorikan kedalam
beberapa jenis yaitu jurusan umum (akademis), pertanian, teknik, perdagangan,
perikanan, ekonomi, dan perawatan. Semua jursan tersebut disesuaikan dengan
kurikulum yang berlaku di negara tersebut.
4. 4
tahun atau lebih untuk jenjang Perguruan Tinggi (Daigaku).
Pada
universitas terdapat pendidikan untuk menempuh gelar sarjana S1 bergelar
Bachelor’s Degree ditempuh selama 4 tahun (untuk mahasiswa kedokteran dan
dokter gigi menempuh pendidikan selama 6 tahun) dan Pascasarjana S2 Master’s
Degree ditempuh selama 2 tahun dan S3 Doctor’s Degree ditempuh selama 5 tahun.
Guru dan Perserikatan
Guru
Pada masa Pendudukan Amerika
terdapat dua golongan dalam pendidikan yang berbeda ideologi, yakni golongan
konservatif dan progresif. Golongan konservatif lebih menjunjung tinggi nilai-nilai
tradisional sedangkan golongan progresif lebih memilih kebudayaan yang modern
yang tergabung dalam perserikatan guru atau Nikkyoso.
Motivasi kaum guru membentuk perserikatan ini sangat beragam, namun yang utama
adalah untuk mendapat perbaikan kondisi ekonomi mereka. Walaupun berbeda
ideologi namun ada persamaan pandangan dalam pendidikan mereka, yakni memandang
pentingnya pendidikan untuk memajukan kebudayaan namun menurut persepsi
masing-masing dan memandang pendidikan sebagai alat mempropagandakan
pandangan-pandangan mereka.
Banyak perbedaan pandangan dari
kedua golongan ini, misalnya golongan konservatif lebih menginginkan pendidikan
di sekolah mengajarkan menganai nilai-nilai, pengendalian diri, kewajiban,
tanggung jawab, dan loyalitas. Sedangkan golongan progresif tidak menyetujui
keinginan kaum konservatif dikarenakan jika diterapkan maka struktur-struktur
kelas dalam budaya Jepang—yang ingin mereka hapuskan—akan tetap ada.
Kedua golongan ini sama kuat, tetapi
keduanya tidak dapat menguasai dalam bidang pendidikan secara mutlak. Golongan
konservatif lebih besar pengaruhnya dalam hal keuangan dan kurikulum. Sedangkan
kaum progresif lebih berpengaruh perannya dalam lingkungan sekolah maupun kelas
serta diperkuat dengan adanya Nikkyoso.
Pada mulanya, Misi Pendidikan
Amerika Serikat memperbolehkan dibentuknya perserikatan guru karena berpandangan
bahwa pendidikan akan lebih efektif jika diurus oleh mereka sendiri dan
mempermudah mengembangkan program ekstensif untuk membantu guru-guru Jepang
dalam menerapkan pendidikan yang demokratis. Akan tetapi perkembangan
selanjutnya Pemerintah Pendudukan menarik kembali keputusan dibentuknya
perserikatan guru akibat adanya isu masuknya komunisme internasional ke dalam
tubuh Nikkyoso.
Akan tetapi setelah Pendudukan serta
Misi Pendidikan Amerika Serikat meninggalkan Jepang pada tahun 1952, pengaruh Nikkyoso masih tetap ada dan tidak ada
perubahan dalam hubungan dengan golongan konservatif.
Penutup
Jepang mengalami dua kali pembaharuan,
pertama, adalah pada masa Meiji yang bebas belajar dari bangsa Barat sesuai
dengan kebutuhannya. Namun kemajuan yang pesat yang dialami oleh Jepang membuat
Jepang memasuki kancah Perang Dunia II melawan Sekutu dan salah satu faktor
masuknya Jepang dalam peperangan adalah adanya nilai-nilai dalam pendidikan
yang memicu perang dan konflik kelas dalam sistem Pendidikan Jepang.
Akhir Perang Dunia II, Jepang harus
menerima kenyataan bahwa Jepang dalam posisi kalah dan menempatkannya sebagai
penjahat perang sehingga harus menerima isi Deklarasi Postdam. Deklarasi ini
membuat Amerika Serikat menduduki Jepang dan mengirimkan tentara serta Misi
Pendidikan Amerika Serikat ke Jepang guna melakukan pembaharuan dalam berbagai
bidang, termasuk pendidikan. Ini lah pembaharuan kedua yang dialami Jepang dan harus menerima
apapun yang di perintahkan oleh Pemerintahan Pendudukan.
Tujuan utama Pendudukan Tentara Amerika
Serikat dengan Misi Pendidikan Amerika Serikat adalah untuk menghapuskan paham
ultranasionalisme dan militerisme karena menimbulkan kecenderungan yang sangat
ekstrim terhadap Jepang sehingga terlibat perang, dan menciptakan pendidikan
yang demokratis serta egalitarian. Oleh karena itu, Pemerintah Pendudukan merombak sistem
pendidikan lama dengan sistem pendidikan baru yang berfalsafah demokratis dan
manusiawi yang tercantum dalam konstitusi dan undang-undang pokok pendidikan.
Selain itu, Pemerintah Pendudukan menerapkan sistem desentralisasi dalam bidang
pendidikan, walaupun kurang berhasil.
Setelah masa pendudukan Amerika Serikat, sistem pendidikan
Jepang dibangun atas dasar prinsip-prinsip:
1. Legalisme :
Pendidikan di Jepang tetap mengendepankan aturan hukum dan melegalkan hak
setiap individu untuk memperoleh pendidikan tanpa mendiskriminasikan siapapun,
suku, agama, ras, dan antar golongan berhak mendapatkan pendidikan yang layak.
2. Adminstrasi
yang Demokratis : pendidikan di serahkan kepada dewan sekolah yang dipilih dan
negara memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk memperoleh pendidikan
dengan biaya yang masih terjangkau oleh masyarakatnya. Biaya pendidikan Jepang
di usahakan untuk bisa dijangkau sesuai keuangan masyarakatnya, memberikan
beasiswa bagi siswa yang berprestasi ataupun kurang mampu.
3. Egalitarian
: Pendidikan Jepang diberikan sama rata kepada seluruh wilayah Jepang dan kepada setiap siswa dengan
tingkat pendidikan masing-masing dengan mengedepankan pandangan persamaan
derajat setiap siswanya tanpa membeda-bedakan latar belakang materil, asal-usul
keluarga, jenis kelamin, status sosial, posisi ekonomi, suku, agama, ras, dan
antar golongan.
4. Desentralisasi
: Penyebaran kebijakan-kebijakan pendidikan dari pemerintah pusat secara
merata kepada seluruh sekolah yang ada dinegara tersebut sehingga perkembangan
dan kemajuan sistem pendidikan sehingga dapat diikuti dengan baik.
Ketika Pemerintahan Pendudukan
meninggalkan Jepang pada tahun 1952, pembaharuan-pembaharuan yang diterapkan di
Jepang masih tidak jelas hasilnya akan tetapi bangsa Jepang-lah yang menentukan
kesudahannya.
Daftar Pustaka
Cummings,
William. K. (1984). Pendidikan dan
Kualitas Manusia di Jepang. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Matullada.
(1979). Pedang dan Sempoa (Suatu Analisa
Kultural “Perasaan dan Kepribadian” Orang Jepang). Departemen Pendidikan
dan Kebudayan.
Mente,
Boye De. (2009). Misteri Kode Samurai
Jepang. Jogjakarta: Garailmu.
Nurhayati,
Yeti. (1987). Lamgkah-Langkah Awal
Modernisasi Jepang. Jakarta: PT Dian Rakyat.
Rosidi,
Ajip. (1981). Mengenal Jepang.
Jakarta: Pustaka Jaya.
Sluimers,
B. (1952). Jepang. Jakarta: Djambtan.
Wheeler,
Keith et al. (1987). Pemboman di Atas Jepang. Jakarta: PT
Tira Pustaka.
____________.
(1990). Negara dan Bangsa: Asia.
Australia. Selandia Baru. Osean. Eropa—jilid 4 . Jakarta. Grolier International,
inc.
____________.
(-). Ensiklopedia Indonesia Seri
Geografi: Asia. - : -.
A, Try Setiadi. Seperti apa sistem kurikulum pendidikan di Jepang? Yuk, lihat bersama!. [ONLINE]. Tersedia: https://japanesestation.com/seperti-apa-sistem-kurikulum-pendidikan-di-jepang-yuk-lihat-bersama/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar