Kamis, 03 Mei 2018

Telaah Novel Bukan Pasar Malam (Pramoedya Ananta Toer)


Written by
Dinan Afifah Firdaus 
Ragil Wyda Triana    
Tiur N. Raharjo


Hasil Telaah Novel Bukan Pasar Malam (Pramoedya Ananta Toer)

1.        Identitas Buku
Judul               : Bukan Pasar Malam
Penulis             : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit           : Lentera Dipantara
                          Multi Karya II/26 Utan Kayu, Jakarta Timur, Jakarta

Cetakan           : 7, Maret 2009
Ukuran Buku  : 13 x 20 cm
Tebal Buku      : 108 halaman




2.        Biografi Pengarang
Pramoedya Anantatoer lahir di Blora, Jawa Tengah pada tahun 1925. Ia pernah mengalami tiga tahun di dalam penjara pada masa Kolonial, satu tahun di Orde Lama, dan 14 tahun pada masa Orde Baru (13 Oktober 1965 – Juli 1969, pulau Nusa Kambangan Juli 1969-16 Agustus 1969, pulau Buru Agustus 1969-12 November 1979, Magelang/Banyumanik November 1979-Desember 1979) tanpa proses pengadilan karena dituduh terlibat dengan G30S PKI. Tanggal 21 Desember 1979 Pramoedya mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat dalam G30S PKI.
Penjara tidak membuatnya berhenti sejengkal pun menulis. Baginya, menulis adalah tugas pribadi dan nasional. Dan ia konsekuen terhadap semua akibat yang ia peroleh. Berkali-kali karyanya dilarang dan dibakar.
Dari tangannya yang dingin telah lahir lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa asing. Karena kiprahnya di gelanggang sastra dan kebudayaan, Pramoedya Ananta Toer dianugerahi berbagai penghargaan internasional, diantaranya: The PEN Freedom-to-write Award tahun 1988, Ramon Magasaysay Award pada 1995, Fokuoka Cultur Grand Prince, Jepang tahun 2000, The Norwegian Authours Union di tahun 2003, dan Pablo Neruda dari Presiden Republik Chile Senor Ricardo Lagos Escobar pada 2004. Sampai akhir hidupnya, ia adalah satu-satunya wakil Indonesia yang namanya berkali-kali masuk dalam daftar kandidat Pemenang Nobel Sastra.

Telaah Novel Bukan Pasar Malam (Pramoedya Ananta Toer)
3.        Unsur intirnsik novel
Tema                    : Pejuang Revolusi yang melupakan keluarga di kampung halamannya
Pembabakan         : Bab I Kedangan surat dari bapak tokoh “aku”
                               Bab II Perjalanan “Aku” ke kampung halaman (dari Jakarta sampai Semarang)
                               Bab III Kepergian “Aku” ke kampung halaman (dari Semarang sampai Blora)
                               Bab IV Pertemuan “Aku” dengan adiknya
Bab V Tokoh “Aku” mengunjungi ayahnya di rumah sakit
Bab VI Keluh kesah adik perempuan tokoh “Aku”
Bab VII Tokoh “Aku” mengunjungi ayahnya dirumah sakit
Bab VIII Tokoh “Aku” dengan pamannya mendatangi rumah orang pintar untuk menyembuhkan ayahnya
Bab IX Adiknya menceritakan perjuangan ayahnya selama tokoh “Aku” berada di Jakarta
Bab X  Tokoh “Aku” merasa berdosa karena tidak membawa es kerumah sakit dan mengganti dengan cendol hunkwee yang didinginkan
Bab XI Ayah dibawa pulang dan dirawat di rumah
Bab XII Perdebatan antara tokoh “Aku” dengan istrinya
Bab XIII Pesan terakhir dari ayah
Bab XIV Ayah tokoh “Aku” meninggal
Bab XV Penyesalan tokoh “Aku”
Setting waktu       : Sebelum dan Sesudah Revolusi Indonesia
Setting tempat     : Jakarta, Stasiun Gambir, Semarang, hotel, Blora, rumah tokoh “aku”, rumah sakit, rumah dukun.

Plot/ alur
Pengenalan
Tokoh aku adalah seorang laki-laki yang bertanggung jawab, tetapi di awal cerita ia kurang memperhatikan perasaan ayahnya.
Timbul konflik
Tokoh aku mulai merasa bersalah ketika melihat ayahnya yang sakit dan dirawat di rumah sakit.
Puncak konflik
Ia menyalahkan dirinya sendiri karena telah menyangka bahwa ayahnya membiarkan adiknya terserang sakit. Tetapi kenyataannya sekarang ayahnya sendiri yang terkena penyakit TBC. Ia semakin menyesali kesalahannya ketika ayah mangkat keharibaan Allah SWT.
Penyelesaian konflik
Tokoh aku bersikap pasrah dan menyadari bahwa manusia yang lahir pasti akan mati. Dan manusia-manusia itu terlahir sendiri dan pada saat ajalnya menjemput pun ia akan tetap sendiri.

4.        Analisis
Setting sosial
Perbedaan kehidupan di kota dan di desa sangat jauh berbeda. Dalam novel ini diceritakan bagaimana kehidupan kota besar Jakarta yang menyimpan banyak asap-asap konglomerat yang meludahi masyarakat kecil di dalamnya. Individualistis yang dijunjung tinggi pun seakan membudaya di kota metropolitan ini.
Sangat berbeda dengan kehidupan desa yang masih tradisional dan adat gotong royong yang masih menjadi dasar kehidupannya. Manusia dan alam masih bersahabat dan sesama masyarakat masih memiliki ikatan batin yang kuat.
Bagi masyarakat desa, guru merupakan tokoh yang menjadi panutan dan suri tauladan. Tetapi untuk sejahtera, guru belum mendapatkannya dari pemerintah.
Setting ekonomi
Kota besar seperti Jakarta memiliki semua keadaan ekonomi, dari tingkat ekonomi tingkat tinggi sampai ekonomi tingkat rendah. Namun perbedaannya terlihat sangat mencolok, dan sangat menunjukkan wajah-wajah tentram dan gelisah. Tokoh aku ini termasuk ke dalam wajah-wajah gelisah yang setiap hari harus mati-matian bekerja untuk sesuap nasi.

Setting budaya
Masih ada kepercayaan tradisional seperti percaya pada “orang pintar”. Dalam novel ini kepercayaan tersebut masih melekat kuat dalam masyarakat Jawa yang kental dengan aura mistis.
Setting politik
Kesejahteraan sangat melekat dengan konsep kaya dan miskin. Pembuktian dalam novel ini sangat jelas terlihat dari suara hati tokoh aku. Kesejahteraan itu belum merata, hanya pegawai negri saja yang mendapat layanan kesehatan yang baik.

Perbedaan fakta dan fiksi
Fakta di buku ini seperti dalam setting sosial, budaya, dan ekonomi pada masanya. Serta cerita perjalanan seperti peninggalan Jepang. Namun tokoh dan kisah dalam novel ini kemungkinan adalah fiksi.

Perbandingan dengan buku teks
Novel ini banyak memberikan gambaran  mengenai nasib guru yang hidup di garis kemiskinan. Pasca revolusi tidak mengubah sikap penguasa yang tamak. Keberhasilan revolusi tidak dirasakan oleh para pelaku dengan perannya membela merah putih yang masih merasakan hidup bersama kesengsaraan, kecuali para pemburu kekuasaan yang mampu menduduki jabatan di pemerintahan. Kisah ketulusan ayah “aku” yang seorang guru, sangat memperhatikan nasib masyarakat di sekitanya dan menjunjung tinggi kejujuran serta nilai dan moral. Novel ini memberikan gambaran real dengan menampilkan sisi gelap pasca revolusi yang tidak ada dalam buku teks.

5.        Nilai-nilai yang terkandung dalam novel
a.       Religi : ketaatan beribadah
b.      Kasih sayang seorang ayah kepada anaknya
c.       Kasih sayang sesama saudara
d.      Penghormatan anak kepada orang tuanya
e.       Kecintaan pada tanah kelahirannya



6.        Relevansi novel sebagai sumber pembelajaran sejarah
Buku karangan Pramoedya Anantatoer yang berjudul Bukan Pasar Malam ini relevan dalam mengajarkan mata pelajaran sejarah di sekolah. Misalnya di sekolah menengah atas, ada kompetensi dasar yang berisi menganalisis perkembangan ekonomi-keuangan dan pada masa awal kemerdekaan sampai tahun 1950. Guru dapat menggunakan buku ini dalam menjelaskan perekonomian yang dirasakan oleh kaum menengah kebawah, khususnya di Jakarta. Dimana dijelaskan dalam buku ini terdapat perbedaan tajam antara pegawai pemerintahan dan yang bukan. Akan tetapi dalam bidang kesehatan orang ekonomi bawah sudah ada perhatian. Novel ini dapat membangun pandangan siswa mengenai kondisi kehidupan masyarakat Indonesia pasca revolusi. Nasib-nasib pahlawan yang kurang dihargai dan kehidupan ekonomi yang menjepit tokoh “aku” dalam novel ini menggambarkan perjalanan yang pahit ketika dijajah dan setelah merdeka. Selain itu,dapat dipakai dalam menjelaskan materi mengenai PKI dimana orang-orang yang tergabung dalam PKI, Pesindo yang dipenjarakan.

7.        Analisa novel menggunakan salah satu teori berikut: teori sosiologi sastra
Buku ini menjelaskan mengenai kharakteristik kota Jakarta yang penuh dengan kendaraan roda empat, gersang, dan penuh debu. Pembaca akan mengertahui bahwa sejak dulu pun Jakarta masih seperti itu bahkan lebih parah dari yang dulu. Selain itu, kesulitan ekonomi yang dirasakan oleh kalangan berekonomian menengah ke bawah membuat tokoh “Aku” harus mengutang untuk ongkos pulang ke kampung halamannya. Ini pun sering terjadi di lingkungan masyarakat dimana orang yang merantau dan telah hidup lama di tempat rantau ternyata tidak mengubah tingkat hidup seorang perantau. Untuk pulang ke kampung halaman saja mesti meminjam uang.
Buku ini pun menjelaskan tokoh seorang istri yang cerewet dalam sisi keuangan. Dalam kehidupan keluarga memang seorang istri cerewet dalam keuangan. Saat pepergian pasti mengeluarkan uang yang lebih besar dari biasanya dan akan meminta pulang dan kurang mengerti dengan keadaan. Ini sering terjadi dalam kehidupan keluarga.
Seorang guru pada masa itu kurang diperhatikan kesejahteraannya apalagi seorang guru yang jujur seperti ayah tokoh “Aku”. Di masa kini sungguh jarang guru seperti tokoh tersebut.
Buku ini menceritakan mengenai seorang anak yang sudah lama tidak pulang dan bahkan menyakiti hati ayahnya sampai akhirnya tokoh “Aku” ini menyesal apalagi setelah mendengar perjuangan ayahnya selama hidup. Di masa sekarang pun banyak orang ‘bagai kacang lupa kulit’. Buku ini sangat bagus dalam menyadarkan posisi anak supaya tidak lupa dengan orang tuanya dan tidak melantarkan orang tua serta saudaranya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar