Written by Tiur N. Raharjo
Pendahuluan
Syarat
sejarah sebagai ilmu, salah satunya adalah memiliki metode ilmiah. Sementara
itu, metode sejarah menurut Ernest Bernsheim dapat dirinci dengan sistematika 4
langkah sebagai berikut: (1) Heuristiek,
yakni mencari, menemukan, dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah; (2) Kritiek, yakni menganalisis secara kritis
sumber-sumber sejarah; (3) Auffassung,
yakni penanggapan terhadap fakta-fakta sejarah yang dipunguti dari dalam sumber
sejarah; (4) Dahrstellung, yakni
penyajian cerita yang memberikan gambaran sejarah yang terjadi pada masa lampau
(Ismaun, 2005: 32). Dahrstellung atau
lebih dikenal dengan sebutan historiografi merupakan titik puncak seluruh
kegiatan sejarawan (Poespoprodjo, 1987: 1), dan tahap ini sejarawan memasuki tahap menulis, maka ia
mengerahkan seluruh daya pikirannya, bukan saja keterampilan teknis penggunaan
kutipan-kutipan dan catatan-catatan, tetapi yang terutama penggunaan kritis dan
analisisnya karena pada akhirnya ia harus menghasilkan suatu sintesis dari
seluruh hasil penelitiannya atau penemuannya itu dalam suatu penulisan yang
utuh yang disebut historiografi (Sjamsuddin, 2007: 156).
John R. W. Smail dan Bandung Awal Revolusi 1945-1946:
Tinjauan Historiografi
Dalam pengertian di atas, penulis
memiliki beberapa pendapat bahwa historiografi merupakan tahap terakhir dalam
metode penelitian sejarah dan merupakan tahap terberat. Seperti yang dikatakan
Helius Sjamsuddin, dalam tahap historiografi sejarawan mengerahkan seluruh daya
pikirannya secara teknis dan yang terpenting adalah analisis untuk menghasilkan
sintesis. Tahap ini pula letak tuntutan terberat bagi sejarah untuk membuktikan
legitimasi dirinya sebagai suatu bentuk disiplin ilmu. Kemudian sejarawan harus
memerhatikan penggunaan fakta sebagai sumber, kemahiran menulis, kemahiran
menstruktur fakta-fakta dalam bentuk tulisan sejarah dan kemampuan si sejarawan
dalam menggunakan metode, pendekatan
serta teori apa yang digunakan dalam menampilkan sejarah sebagai suatu tulisan
ilmiah (Mulyana, 2009: 121).
Dalam tulisan ini, penulis mencoba
melakukan analisis historiografis terhadap sejarawan dan karya sejarahnya,
yaitu John R. W. Smail dan karyanya yang berjudul Bandung Awal Revolusi 1945-1946. Dasar analiasis yang digunakan
oleh penulis sebagaimana pemahaman historiografi yang telah dijelaskan
sebelumnya.
Perkembangan Historiografi
Historiografi
adalah hasil kultural dan pantulan dari keprihatinan sosial masyarakat atau
kelompok sosial yang mengahasilkannya (Abdullah, 1985: xxi). Sehingga tidak
mengherankan jika terdapat tradisi kesejarahan yang berbeda-beda dari berbagai
kelompok kesatuan kultural. Perkembagan historiografi pun dipengaruhi oleh
perkembangan yang juga dialami oleh kelompok atau bangsa.
Manusia terus berkembang dari mulai
belum mengenal tulisan dan hanya menggunakan tradisi lisan untuk merekam, menyusun,
dan menyimpan masa lalunya. Sejalan dengan perkembangan manusia mengenal
tulisan, maka manusia pun memulai tradisi tulis atau historiografi tradisional
yang erat dengan unsur sastra dan mitologi. Menurut Taufik Abdullah (1985:
xxi), historiografi tradisional pada mulanya merupakan ekspresi kultural dari
pada usaha untuk merekam hari lampau. Sehingga kebenaran sejarah bukanlah
tujuan dari penulisan sejarah namun lebih berfokus pada makna dan fungsi
sejarah tersebut. Kemudian, datanglah bangsa asing yang menjajah Indonesia,
tentu ini memengaruhi penulisan sejarah Indonesia yang melihat dari kaca mata
penjajah atau “xenocentris”.
Setelah
merdeka, di tahun awal revolusi Indonesia, walaupun sudah ada upaya menulis
sejarah Indonesia yang Indonesiasentrisme namun banyak pula sejarawan asing
yang meneliti dan menulis sejarah Indonesia. Misalnya yang akan penulis
analisis penulis serta karyanya, John R. W. Smail yang karyanya yang berjudul Bandung Awal Revolusi 1945-1945.
Biografi John R. W. Smail
Sejarawan dalam menulis karya
sejarahnya tentu akan dipengaruhi oleh lingkungan kehidupannya. Oleh karena
itu, penting untuk menguraikan terlebih dahulu penulis, John R. W. Smail,
sebelum menganalis karyanya, Bandung Awal
Revolusi 1945-1946. Setelah penulis menguraikan latar belakang kehidupan
John R. W Smail, kemudian penulis akan menyajikan tinjauan historiografi
terhadap karya sejarahnya. Buku yang akan penulis kaji adalah buku yang
berjudul Bandung Awal Revolusi 1945-1946
John R. W. Smail menerima gelar B.A.
dari Harvar University pada tahun 1951 dan M.A. pada tahun 1952, keduanya dalam
bidang Sejarah Inggris. Ketertarikannya pada sejarah Indonesia muncul ketika ia
mengelilingi Asia Tenggara dan India. Setelah kembali ke Amerika Serikat pada
1956, ia bergabung dalam program Southeast
Asian Studies di Cornell University.
Setelah
kembali ke Bandung, ia mengajarkan di Departemen Sejarah University of
Wisconsin pada 1962 dan memeroleh gelar Ph. D. Dari Cornell University pada
1964. Di University of Wisconsin ia mendirikan program sejarah Asia Tenggara, Center for Southeast Asian Studies, dan Comparative Tropical History Program. Sedangkan
buku yang berjudul Bandung Awal Revolusi
1945-1946 ini ditulis pada tahun 1964.
John R. W. Smail dan “Bandung Awal
Revolusi 1945-1946”
Setelah menguraikan mengenai
biografi John R. W. Smail, berikut ini penulis akan menyajikan tinjauan
historiografi terhadap karya sejarahnya yang berjudul Bandung Awal Revolusi 1945-1946.
Menurut Taufik Abdullah (Mulyana,
2009: 124), pengerjaan sejarah sebagai usaha merekonstruksi hari lampau itu
hanya mungkin dilakukan apabila “pertanyaan pokok” telah dirumuskan. Dalam
usaha mencari jawaban terhadap pertanyaan pokok itulah ukuran penting atau
tidaknya bisa didapatkan.
Penulis
dalam menganalisis Bandung awal revolusi tahun 1945-1946 atau bisa dibilang
mengenai sejarah lokal dalam periode revolusi Indonesia, dalam buku ini Smail
memilih untuk membatasi fokus pada wilayah Bandung di periode awal Revolusi
yaitu sejak proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 hingga peristiwa
Bandung Lautan Api tanggal 24 Maret 1946. Smail dalam buku ini menuturkan
secara narasi yang secara detail serta analisis kejadian-kejadian yang terjadi
sekitar Kota Bandung selama periode Agustus 1945-Maret 1946. Selain itu, Smail
menjelaskan mengenai perkembangan organisasi militer formal dan informal
sebagai manisfestasi dari gerakan pemuda militan, kepentingan ekonomi di balik
kepentingan fundamental antara kebijakan negosiasi dan perjuangan militan,
kaitan atmosfer anarkis yang menonjol selama bulan-bulan awal periode revolusi,
hingga perubahan-perubahan besar dalam politik dan ekonomi di daerah perkotaan
dan perkampungan.
Smail menggunakan teori sosial yang berasal dari ilmu sosiologi, yaitu teori konflik yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula (Raho, 2007: 54). Konflik-konflik sosial yang ditunjukkan dalam peristiwa dalam buku Bandung Awal Revolusi 1945-1946 adalah pertentangan sosial yang bertujuan untuk menguasai atau menghancurkan pihak lain. Konflik sosial pun dapat berupa kegiatan dari suatu kelompok yang menghalangi atau menghancurkan kelompok lain dan ini mengakibatkan perubahan sosial yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat yang memengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai, sikap-sikap sosial, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Smail menggunakan teori sosial yang berasal dari ilmu sosiologi, yaitu teori konflik yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula (Raho, 2007: 54). Konflik-konflik sosial yang ditunjukkan dalam peristiwa dalam buku Bandung Awal Revolusi 1945-1946 adalah pertentangan sosial yang bertujuan untuk menguasai atau menghancurkan pihak lain. Konflik sosial pun dapat berupa kegiatan dari suatu kelompok yang menghalangi atau menghancurkan kelompok lain dan ini mengakibatkan perubahan sosial yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat yang memengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai, sikap-sikap sosial, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Smail melihat
terdapat dua elemen penting dalam revolusi, yakni perubahan fundamental pada
struktur pada politik masyarakat yang disebabkan oleh munculnya kekuatan yang
muncul dari dalam masyarakat itu sendiri dan suatu bentuk anarki yang
memfasilitasi dan mewarnai perubahan itu. Pada Agustus 1945, Indonesia telah
siap untuk melalui perubahan fundamental namun perubahan ini terjadi dalam
kondisi yang kacau dan tidak terorganisasi serta menjurus ke anarki dalam
beberapa kasus. Selain itu, dengan adanya rasa kecurigaan-kecurigaan dan
teror-teror yang terjadi di pihak Indonesia yang mencurigai ada agen NICA
diantara mereka maupun orang-orang Eurasia dan Cina, dan mengkibatkan
pembunuhan-pembunuhan yang terjadi. Walaupun tindakan pembunuhan memiliki
alasan yang kuat, namun banyak sekali kasus yang terjadi akibat kecurigaan yang
tidak rasional.
Inilah yang
melatarbelakangi peristiwa Bandung Lautan Api.
Akibat kondisi anarkis membuat pasukan Sekutu mengeluarkan ultimatum
agar pihak Indonesia mengosongkan kota bagian utara. Tentu pihak Indonesia
menolak untimatum tersebut dan melakukan perundingan. Setelah negosiasi yang
dipimpin Amir Syarifuddin, pemerintah Republik mengumumkan suatu bentuk
kompromi: “penduduk kampung” di utara tidak perlu pindah namun “elemen yang
merusak kedamaian” harus pergi dan Inggris akan dapat menahan siapapun yang
membawa senjata, baik orang Indonesia maupun pihak lainnya. Akhirya pihak
Indonesia berpindah ke daerah selatan kota.
Pada bulan
Desember 1945 Sekutu mulai membangun kekuatan di Jawa Barat dengan membawa
pasukan baru dan secara bertahap menggerakkan mereka disepanjang jalur suplai
yang menuju Bandung sambil memperkuat kendali atas jalur itu. Selain itu markas
Divisi Hindia Ke-23 dipindahkan ke Bandung pada 16 Februari 1946, bersama
dengan persiapan pasukan secara besar-besaran (Smail, 2011: 177). Hal ini mengindikasikan bahwa Inggris (Sekutu)
berniat untuk menguasai wilayah Bandung selatan yang merupakan rencana jangka
panjang Inggris (Sekutu) untuk menguasai keseluruhan Indonesia dan termasuk
Bandung di dalamnya.
Pasukan
Sekutu yang menginginkan menguasai Bandung selatan mengakibatkan perubahan
radikal dalam keseimbangan kekuatan militer di selatan Bandung. Ini dipicu
sejumlah manuver agresif yang dari pihak Indonesia, yakni pertarungan sengit
dengan konvoi di sepanjang jalur antara Bogor dengan Bandung selama lima hari
sejak 10 Maret 1946 yang melibatkan tiga
unit Inggris yang berbeda, dua yang terakhir dikirim untuk menyelamatkan yang
pertama. Penyerangan yang terjadi setelah hampir tiga bulan dimana konvoi dapat
bergerak dengan mulus berkat kerja sama dari TKR/TRI, insiden tersebut kembali
menunjukan rentannya posisi Sekutu. Insiden lain yang penting pada tanggal 19
Maret 1946, ketika sejumlah mortir Indonesia jatuh di salah satu derah
pemukiman orang sipil Eropa dan menghasilkan sejumlah korban jiwa.
Insiden-insiden
inilah yang menjadi alasan Sekutu mengakhiri pembagian wilayah Bandung, yakni
menguasai keseluruhan Bandung. Mereka siap melakukan hal ini secara paksa dan
telah menyiapkan sebuah operasi militer besar-besaran yang diberi nama “Operation Sam”. Namun seperti biasa
mereka mencoba jalur diplomasi terlebih dahulu, yakni pada tangggal 22 Maret
1946, sekutu memberi tahu Perdana Menteri Sutan Syahrir bahwa operasi akan
dijalankan dan mendesaknya untuk memastikan behwa operasi itu akan menimbulkan
pertempuran dengan mengatur penarikan seluruh unit militer dan orang bersenjata
sedangkan pemerintah sipil dibiarkan dan didorong untuk tetap tinggal di kota
yang dikendalikan oleh Inggris (Sekutu).
Pada tanggal
23 Maret 1946, Jenderal Hawnthorn, komandan Divisi Ke-23 di Bandung mengumumkan
lewat radio dan pamflet bahwa Bandung selatan akan dibersihkan dari orang-orang
yang bersenjata; pasukan bersenjata harus sudah keluar dari wilayah sebelas
kilometer sebelum tanggal 24 tengah malam untuk mencegah pertumpahan darah; dan
warga sipil diminta untuk tetap tenang dan tidak meninggalkan rumah selama
periode itu.
Komandan
divisi (Nasution) dan kepala seleksi militer MP3 (Sutoko) mendiskusikan masalah
ini dan memutuskan bahwa hal itu harus dibahas secara lebih mendalam bersama
Sutan Syahrir. Keesokan harinya, Nasution pun berangkat ke Jakarta meyakinkan
untuk mengikuti strategi diplomasi pemerinyah dalam kasus ini.
Ketika
Nasution kembali dari Jakarta pada tanggal 24 pagi, ia mengadakan pertemuan
yang dihadiri perwakilan dari pemerintah sipil, polisi, dan Badan Eksekutif
DPRD keresidenan kota, dan menyampaikan bahwa pemerintah pusat telah memutuskan
untuk mematuhi untimatum Inggris (Sekutu) dan menghindari terjadinya
pertumpahan darah ataupun bentuk konfrontasi lainnya. Ia pun menambahkan badan
militer telah ditugaskan untuk menjalanjkan keputusan tersebut.
Pagi itu
juga, Hawthorn diminta untuk mengundurkan batas waktu hingga sepulih hari,
namun permintaan ini ditolak. Pihak Indonesia pada mengajukan alasan ketika
meminta pengunduran waktu, antara lain sulitnya mengorganisasikan perpindahan
dalam waktu yang begitu singkat, kekhawatiran akan terjadinya insiden bila
operasi dijalankan secara terburu-buru, dan sebagainya. Namun apa yang
terpenting adalah masih tersimpannya suplai dan perlengkapan militer di Bandung
selatan. Akan tetapi ini jugalah yang membuat Hawthorn menolak untuk mengadakan
pengunduran waktu. Nasution menginginkan tambahan waktu untuk membawa semua
itu, sedangkan Hawthorn ingin merampasnya.
Permasalahan
lain, perbedaan sikap dan kepentingan antara kalangan militer dari pihak pemuda
militan dan kalangan sipil dari generasi tua menjadi terekspos. Kelompok pemuda
harus pergi, namun mereka tidak ingin melakukannya. Kelompok generasi tua ingin
tetap bertahan di Bandung bukan karena mereka lebih menyukai kehidupan kota dan
tentunya karena merka pro-Belanda, melainkan merekalah yang paling cocok menangani
urusan kota, khususnya tawar-menawar dan negoisiasi yang diperlukan dalam
mempertahankan Republik di tengah kantong pemukiman asing, (Smail, 2011:
180-181). Akan tetapi akhirnya mereka mau tidak mau harus mengikuti keputusan
Pemerintah Pusat.
Pada pukul
2.30 siang hari itu juga, walikota mamberitahukan kepada rakyat melalui siaran
radio mengenai keputusan Pemerintah Pusat dan mengumumkan bahwa pemerintahan
kota akan tetap bertahan di Bandung. Namun pada sekitar pukul 4 sore, sebuah
pesan diterima dari komandan Divisi Ketiga yang menyatakan bahwa pejabat
pemerintahan kota akan dibakar dan dihancurkan. Usaha merundingkan hal ini
gagal karena komandan divisi tidak bisa ditemukan sedangkan kepala MP3 tidak
bisa mengubah rencana penghancuran yang telah ditetapkan.
Kabar itu pun
menyebar di seluruh kota. Penduduk kota mulai bergerak keluar kota di sepanjang
tiga jalan utama ke arah barat daya, selatan, dan tenggara. Sedangkan pemuda
ditugaskan untuk menghancurkan dan membakar gedung pemerintahan yang dianggap penting
maupun gudang penyimpanan besar untuk mencegah jatuhnya gudang tersebut ke
tangan Sekutu. Malamnya, dilakuakanlah suatu serangan perpisahan berupa
serangan umum dan bumi hangus yang sekaligus merupakan acara pemunduran. Pembakaran
kota berlangsung besar-besaran, hingga tengah malam bandung telah kosong dan
hanya meninggalkan puing-puing bangunan yang masih menyala. Pembumihangusan kota
Bandung ini merupakan langkah yang tepat, karena kekuatan TRI tidak akan
sanggup melawan Sekutu yang berkekuatan besar.
Akan tetapi
pada kenyataannya, ada saja kelalaian dan pelanggaran dalam menjalankan tugas
tersebut, seperti gagalnya membakar gedung pemerintahan karena bangunannya yang
sulit terbakar dan ketidakpatuhan untuk menghancurkan gedung penyimpanan
melainkan mereka membawa isi gudang penyimpanan ke luar wilayah sebelas
kilometer.
Setelah menganalisis secara historiografi
terhadap karya Smail yang berjudul Bandung
Awal Revolusi 1945-1946, penulis berpendapat bahwa Smail dalam
peristiwa-peristiwa dalam Bandung saat awal revolusi merupakan berawal dari
konflik-konflik yang terjadi yang membuat perubahan sosial yang meluas.
Sehingga teori konflik merupakan teori yang cocok untuk mengkaji bahasan
Bandung awal revolusi.
Daftar
Pustaka
Abdullah,
Taufik. (1985). Ilmu Sejarah dan Historiografi
Arah dan Perspektif. Jakarta: PT Gramedia.
Ismaun.
(2005). Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu
dan Wahana Pendidikan.Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Poespoprodjo,
W. (1987). Subjektivitas dalam
Historiografi. Bandung: Remadja Karya CV.
Sjamsuddin, Helius.
(2007). Metodologi Sejarah.
Yogyakarta: Ombak.
Smail, John R. W.
(2011). Bandung Awal Revolusi 1945-1949. Jakarta:
Ka Bandung.
Raho, Bernard. (2007). Teori Sosiologi Modern. Jakarta:
Prestasi Pustaka Publisher.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar