Selasa, 01 Mei 2018

John R. W. Smail dan Bandung Awal Revolusi 1945-1946: Tinjauan Historiografi


Written by Tiur N. Raharjo

Pendahuluan
            Syarat sejarah sebagai ilmu, salah satunya adalah memiliki metode ilmiah. Sementara itu, metode sejarah menurut Ernest Bernsheim dapat dirinci dengan sistematika 4 langkah sebagai berikut: (1) Heuristiek, yakni mencari, menemukan, dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah; (2) Kritiek, yakni menganalisis secara kritis sumber-sumber sejarah; (3) Auffassung, yakni penanggapan terhadap fakta-fakta sejarah yang dipunguti dari dalam sumber sejarah; (4) Dahrstellung, yakni penyajian cerita yang memberikan gambaran sejarah yang terjadi pada masa lampau (Ismaun, 2005: 32). Dahrstellung atau lebih dikenal dengan sebutan historiografi merupakan titik puncak seluruh kegiatan sejarawan (Poespoprodjo, 1987: 1), dan tahap ini sejarawan memasuki tahap menulis, maka ia mengerahkan seluruh daya pikirannya, bukan saja keterampilan teknis penggunaan kutipan-kutipan dan catatan-catatan, tetapi yang terutama penggunaan kritis dan analisisnya karena pada akhirnya ia harus menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil penelitiannya atau penemuannya itu dalam suatu penulisan yang utuh yang disebut historiografi (Sjamsuddin, 2007: 156). 




John R. W. Smail dan Bandung Awal Revolusi 1945-1946: Tinjauan Historiografi




            Dalam pengertian di atas, penulis memiliki beberapa pendapat bahwa historiografi merupakan tahap terakhir dalam metode penelitian sejarah dan merupakan tahap terberat. Seperti yang dikatakan Helius Sjamsuddin, dalam tahap historiografi sejarawan mengerahkan seluruh daya pikirannya secara teknis dan yang terpenting adalah analisis untuk menghasilkan sintesis. Tahap ini pula letak tuntutan terberat bagi sejarah untuk membuktikan legitimasi dirinya sebagai suatu bentuk disiplin ilmu. Kemudian sejarawan harus memerhatikan penggunaan fakta sebagai sumber, kemahiran menulis, kemahiran menstruktur fakta-fakta dalam bentuk tulisan sejarah dan kemampuan si sejarawan dalam menggunakan  metode, pendekatan serta teori apa yang digunakan dalam menampilkan sejarah sebagai suatu tulisan ilmiah (Mulyana, 2009: 121).
            Dalam tulisan ini, penulis mencoba melakukan analisis historiografis terhadap sejarawan dan karya sejarahnya, yaitu John R. W. Smail dan karyanya yang berjudul Bandung Awal Revolusi 1945-1946. Dasar analiasis yang digunakan oleh penulis sebagaimana pemahaman historiografi yang telah dijelaskan sebelumnya.

Perkembangan Historiografi
            Historiografi adalah hasil kultural dan pantulan dari keprihatinan sosial masyarakat atau kelompok sosial yang mengahasilkannya (Abdullah, 1985: xxi). Sehingga tidak mengherankan jika terdapat tradisi kesejarahan yang berbeda-beda dari berbagai kelompok kesatuan kultural. Perkembagan historiografi pun dipengaruhi oleh perkembangan yang juga dialami oleh kelompok atau bangsa.
            Manusia terus berkembang dari mulai belum mengenal tulisan dan hanya menggunakan tradisi lisan untuk merekam, menyusun, dan menyimpan masa lalunya. Sejalan dengan perkembangan manusia mengenal tulisan, maka manusia pun memulai tradisi tulis atau historiografi tradisional yang erat dengan unsur sastra dan mitologi. Menurut Taufik Abdullah (1985: xxi), historiografi tradisional pada mulanya merupakan ekspresi kultural dari pada usaha untuk merekam hari lampau. Sehingga kebenaran sejarah bukanlah tujuan dari penulisan sejarah namun lebih berfokus pada makna dan fungsi sejarah tersebut. Kemudian, datanglah bangsa asing yang menjajah Indonesia, tentu ini memengaruhi penulisan sejarah Indonesia yang melihat dari kaca mata penjajah atau “xenocentris”.
Setelah merdeka, di tahun awal revolusi Indonesia, walaupun sudah ada upaya menulis sejarah Indonesia yang Indonesiasentrisme namun banyak pula sejarawan asing yang meneliti dan menulis sejarah Indonesia. Misalnya yang akan penulis analisis penulis serta karyanya, John R. W. Smail yang karyanya yang berjudul Bandung Awal Revolusi 1945-1945.


Biografi John R. W. Smail
            Sejarawan dalam menulis karya sejarahnya tentu akan dipengaruhi oleh lingkungan kehidupannya. Oleh karena itu, penting untuk menguraikan terlebih dahulu penulis, John R. W. Smail, sebelum menganalis karyanya, Bandung Awal Revolusi 1945-1946. Setelah penulis menguraikan latar belakang kehidupan John R. W Smail, kemudian penulis akan menyajikan tinjauan historiografi terhadap karya sejarahnya. Buku yang akan penulis kaji adalah buku yang berjudul Bandung Awal Revolusi 1945-1946
            John R. W. Smail menerima gelar B.A. dari Harvar University pada tahun 1951 dan M.A. pada tahun 1952, keduanya dalam bidang Sejarah Inggris. Ketertarikannya pada sejarah Indonesia muncul ketika ia mengelilingi Asia Tenggara dan India. Setelah kembali ke Amerika Serikat pada 1956, ia bergabung dalam program Southeast Asian Studies di Cornell University.
            Setelah kembali ke Bandung, ia mengajarkan di Departemen Sejarah University of Wisconsin pada 1962 dan memeroleh gelar Ph. D. Dari Cornell University pada 1964. Di University of Wisconsin ia mendirikan program sejarah Asia Tenggara, Center for Southeast Asian Studies, dan Comparative Tropical History Program. Sedangkan buku yang berjudul Bandung Awal Revolusi 1945-1946 ini ditulis pada tahun 1964.

John R. W. Smail dan “Bandung Awal Revolusi 1945-1946”
            Setelah menguraikan mengenai biografi John R. W. Smail, berikut ini penulis akan menyajikan tinjauan historiografi terhadap karya sejarahnya yang berjudul Bandung Awal Revolusi 1945-1946.
            Menurut Taufik Abdullah (Mulyana, 2009: 124), pengerjaan sejarah sebagai usaha merekonstruksi hari lampau itu hanya mungkin dilakukan apabila “pertanyaan pokok” telah dirumuskan. Dalam usaha mencari jawaban terhadap pertanyaan pokok itulah ukuran penting atau tidaknya bisa didapatkan.
Penulis dalam menganalisis Bandung awal revolusi tahun 1945-1946 atau bisa dibilang mengenai sejarah lokal dalam periode revolusi Indonesia, dalam buku ini Smail memilih untuk membatasi fokus pada wilayah Bandung di periode awal Revolusi yaitu sejak proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 hingga peristiwa Bandung Lautan Api tanggal 24 Maret 1946. Smail dalam buku ini menuturkan secara narasi yang secara detail serta analisis kejadian-kejadian yang terjadi sekitar Kota Bandung selama periode Agustus 1945-Maret 1946. Selain itu, Smail menjelaskan mengenai perkembangan organisasi militer formal dan informal sebagai manisfestasi dari gerakan pemuda militan, kepentingan ekonomi di balik kepentingan fundamental antara kebijakan negosiasi dan perjuangan militan, kaitan atmosfer anarkis yang menonjol selama bulan-bulan awal periode revolusi, hingga perubahan-perubahan besar dalam politik dan ekonomi di daerah perkotaan dan perkampungan. 
Smail menggunakan teori sosial yang berasal dari ilmu sosiologi, yaitu teori konflik yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula (Raho, 2007: 54). Konflik-konflik sosial yang ditunjukkan dalam peristiwa dalam buku Bandung Awal Revolusi 1945-1946 adalah pertentangan sosial yang bertujuan untuk menguasai atau menghancurkan pihak lain. Konflik sosial pun dapat berupa kegiatan dari suatu kelompok yang menghalangi atau menghancurkan kelompok lain dan ini mengakibatkan perubahan sosial yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat yang memengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai, sikap-sikap sosial, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Smail melihat terdapat dua elemen penting dalam revolusi, yakni perubahan fundamental pada struktur pada politik masyarakat yang disebabkan oleh munculnya kekuatan yang muncul dari dalam masyarakat itu sendiri dan suatu bentuk anarki yang memfasilitasi dan mewarnai perubahan itu. Pada Agustus 1945, Indonesia telah siap untuk melalui perubahan fundamental namun perubahan ini terjadi dalam kondisi yang kacau dan tidak terorganisasi serta menjurus ke anarki dalam beberapa kasus. Selain itu, dengan adanya rasa kecurigaan-kecurigaan dan teror-teror yang terjadi di pihak Indonesia yang mencurigai ada agen NICA diantara mereka maupun orang-orang Eurasia dan Cina, dan mengkibatkan pembunuhan-pembunuhan yang terjadi. Walaupun tindakan pembunuhan memiliki alasan yang kuat, namun banyak sekali kasus yang terjadi akibat kecurigaan yang tidak rasional.
Inilah yang melatarbelakangi peristiwa Bandung Lautan Api.  Akibat kondisi anarkis membuat pasukan Sekutu mengeluarkan ultimatum agar pihak Indonesia mengosongkan kota bagian utara. Tentu pihak Indonesia menolak untimatum tersebut dan melakukan perundingan. Setelah negosiasi yang dipimpin Amir Syarifuddin, pemerintah Republik mengumumkan suatu bentuk kompromi: “penduduk kampung” di utara tidak perlu pindah namun “elemen yang merusak kedamaian” harus pergi dan Inggris akan dapat menahan siapapun yang membawa senjata, baik orang Indonesia maupun pihak lainnya. Akhirya pihak Indonesia berpindah ke daerah selatan kota.
Pada bulan Desember 1945 Sekutu mulai membangun kekuatan di Jawa Barat dengan membawa pasukan baru dan secara bertahap menggerakkan mereka disepanjang jalur suplai yang menuju Bandung sambil memperkuat kendali atas jalur itu. Selain itu markas Divisi Hindia Ke-23 dipindahkan ke Bandung pada 16 Februari 1946, bersama dengan persiapan pasukan secara besar-besaran (Smail, 2011: 177). Hal ini  mengindikasikan bahwa Inggris (Sekutu) berniat untuk menguasai wilayah Bandung selatan yang merupakan rencana jangka panjang Inggris (Sekutu) untuk menguasai keseluruhan Indonesia dan termasuk Bandung di dalamnya.
Pasukan Sekutu yang menginginkan menguasai Bandung selatan mengakibatkan perubahan radikal dalam keseimbangan kekuatan militer di selatan Bandung. Ini dipicu sejumlah manuver agresif yang dari pihak Indonesia, yakni pertarungan sengit dengan konvoi di sepanjang jalur antara Bogor dengan Bandung selama lima hari sejak 10 Maret 1946  yang melibatkan tiga unit Inggris yang berbeda, dua yang terakhir dikirim untuk menyelamatkan yang pertama. Penyerangan yang terjadi setelah hampir tiga bulan dimana konvoi dapat bergerak dengan mulus berkat kerja sama dari TKR/TRI, insiden tersebut kembali menunjukan rentannya posisi Sekutu. Insiden lain yang penting pada tanggal 19 Maret 1946, ketika sejumlah mortir Indonesia jatuh di salah satu derah pemukiman orang sipil Eropa dan menghasilkan sejumlah korban jiwa.
Insiden-insiden inilah yang menjadi alasan Sekutu mengakhiri pembagian wilayah Bandung, yakni menguasai keseluruhan Bandung. Mereka siap melakukan hal ini secara paksa dan telah menyiapkan sebuah operasi militer besar-besaran yang diberi nama “Operation Sam”. Namun seperti biasa mereka mencoba jalur diplomasi terlebih dahulu, yakni pada tangggal 22 Maret 1946, sekutu memberi tahu Perdana Menteri Sutan Syahrir bahwa operasi akan dijalankan dan mendesaknya untuk memastikan behwa operasi itu akan menimbulkan pertempuran dengan mengatur penarikan seluruh unit militer dan orang bersenjata sedangkan pemerintah sipil dibiarkan dan didorong untuk tetap tinggal di kota yang dikendalikan oleh Inggris (Sekutu).
Pada tanggal 23 Maret 1946, Jenderal Hawnthorn, komandan Divisi Ke-23 di Bandung mengumumkan lewat radio dan pamflet bahwa Bandung selatan akan dibersihkan dari orang-orang yang bersenjata; pasukan bersenjata harus sudah keluar dari wilayah sebelas kilometer sebelum tanggal 24 tengah malam untuk mencegah pertumpahan darah; dan warga sipil diminta untuk tetap tenang dan tidak meninggalkan rumah selama periode itu.
Komandan divisi (Nasution) dan kepala seleksi militer MP3 (Sutoko) mendiskusikan masalah ini dan memutuskan bahwa hal itu harus dibahas secara lebih mendalam bersama Sutan Syahrir. Keesokan harinya, Nasution pun berangkat ke Jakarta meyakinkan untuk mengikuti strategi diplomasi pemerinyah dalam kasus ini.
Ketika Nasution kembali dari Jakarta pada tanggal 24 pagi, ia mengadakan pertemuan yang dihadiri perwakilan dari pemerintah sipil, polisi, dan Badan Eksekutif DPRD keresidenan kota, dan menyampaikan bahwa pemerintah pusat telah memutuskan untuk mematuhi untimatum Inggris (Sekutu) dan menghindari terjadinya pertumpahan darah ataupun bentuk konfrontasi lainnya. Ia pun menambahkan badan militer telah ditugaskan untuk menjalanjkan keputusan tersebut.
Pagi itu juga, Hawthorn diminta untuk mengundurkan batas waktu hingga sepulih hari, namun permintaan ini ditolak. Pihak Indonesia pada mengajukan alasan ketika meminta pengunduran waktu, antara lain sulitnya mengorganisasikan perpindahan dalam waktu yang begitu singkat, kekhawatiran akan terjadinya insiden bila operasi dijalankan secara terburu-buru, dan sebagainya. Namun apa yang terpenting adalah masih tersimpannya suplai dan perlengkapan militer di Bandung selatan. Akan tetapi ini jugalah yang membuat Hawthorn menolak untuk mengadakan pengunduran waktu. Nasution menginginkan tambahan waktu untuk membawa semua itu, sedangkan Hawthorn ingin merampasnya.
Permasalahan lain, perbedaan sikap dan kepentingan antara kalangan militer dari pihak pemuda militan dan kalangan sipil dari generasi tua menjadi terekspos. Kelompok pemuda harus pergi, namun mereka tidak ingin melakukannya. Kelompok generasi tua ingin tetap bertahan di Bandung bukan karena mereka lebih menyukai kehidupan kota dan tentunya karena merka pro-Belanda, melainkan merekalah yang paling cocok menangani urusan kota, khususnya tawar-menawar dan negoisiasi yang diperlukan dalam mempertahankan Republik di tengah kantong pemukiman asing, (Smail, 2011: 180-181). Akan tetapi akhirnya mereka mau tidak mau harus mengikuti keputusan Pemerintah Pusat.
Pada pukul 2.30 siang hari itu juga, walikota mamberitahukan kepada rakyat melalui siaran radio mengenai keputusan Pemerintah Pusat dan mengumumkan bahwa pemerintahan kota akan tetap bertahan di Bandung. Namun pada sekitar pukul 4 sore, sebuah pesan diterima dari komandan Divisi Ketiga yang menyatakan bahwa pejabat pemerintahan kota akan dibakar dan dihancurkan. Usaha merundingkan hal ini gagal karena komandan divisi tidak bisa ditemukan sedangkan kepala MP3 tidak bisa mengubah rencana penghancuran yang telah ditetapkan.
Kabar itu pun menyebar di seluruh kota. Penduduk kota mulai bergerak keluar kota di sepanjang tiga jalan utama ke arah barat daya, selatan, dan tenggara. Sedangkan pemuda ditugaskan untuk menghancurkan dan membakar gedung pemerintahan yang dianggap penting maupun gudang penyimpanan besar untuk mencegah jatuhnya gudang tersebut ke tangan Sekutu. Malamnya, dilakuakanlah suatu serangan perpisahan berupa serangan umum dan bumi hangus yang sekaligus merupakan acara pemunduran. Pembakaran kota berlangsung besar-besaran, hingga tengah malam bandung telah kosong dan hanya meninggalkan puing-puing bangunan yang masih menyala. Pembumihangusan kota Bandung ini merupakan langkah yang tepat, karena kekuatan TRI tidak akan sanggup melawan Sekutu yang berkekuatan besar.
Akan tetapi pada kenyataannya, ada saja kelalaian dan pelanggaran dalam menjalankan tugas tersebut, seperti gagalnya membakar gedung pemerintahan karena bangunannya yang sulit terbakar dan ketidakpatuhan untuk menghancurkan gedung penyimpanan melainkan mereka membawa isi gudang penyimpanan ke luar wilayah sebelas kilometer.
            Setelah menganalisis secara historiografi terhadap karya Smail yang berjudul Bandung Awal Revolusi 1945-1946, penulis berpendapat bahwa Smail dalam peristiwa-peristiwa dalam Bandung saat awal revolusi merupakan berawal dari konflik-konflik yang terjadi yang membuat perubahan sosial yang meluas. Sehingga teori konflik merupakan teori yang cocok untuk mengkaji bahasan Bandung awal revolusi.



Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik. (1985). Ilmu Sejarah dan Historiografi Arah dan Perspektif. Jakarta: PT Gramedia.
Ismaun. (2005). Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu dan Wahana Pendidikan.Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Poespoprodjo, W. (1987). Subjektivitas dalam Historiografi. Bandung: Remadja Karya CV.
Sjamsuddin, Helius. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Smail, John R. W. (2011). Bandung Awal Revolusi 1945-1949. Jakarta: Ka Bandung.
Raho, Bernard. (2007). Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar