Terjadinya
peristiwa Bandung Lautan Api diawali dari datangnya Brigade McDonald dari
Divisi Hindia ke-23 (Sekutu) pada tanggal 12 Oktober 1945. Hal ini sesuai
dengan persetujuan yang telah dicapai antara pihak Sekutu dengan Pemerintah
Republik Indonesia. Pendudukan Sekutu di Indonesia dilaksanakan oleh Inggris
atas dasar persetujuan “Civil Affairs Agreement” antara Inggris dan Belanda
yang mencapai persetujuan dimana Tentara Pendudukan Inggris bertindak sebagai
“Agen Belanda” dalam usaha Belanda untuk menguasai kembali Indonesia
(Siliwangi, 1968: 87).
(afscheids-aanval--strategi Bumi Hangus, Liputan6.com)
Peristiwa Bandung Lautan Api (12 Oktober 1945 – 24 Maret 1946)
Tentara pun
memasuki kota Bandung. Dua batalyon Gurkha berjumlah sekitar 2.000 orang
berkonsentrasi di sekitar kawasan pinggiran Bandung utara dan hotel-hotel besar
di kawasan orang Eropa di sebelah selatan jalur kereta api. Disisi lain, 1.500
orang pasukan Jepang tersebar di pos-pos yang tersebar di seluruh Kota,
khususnya di sekitara batas di jalan-jalan utama dan menjaga sejumlah instalasi
dan pmukiman Eurasia di sebelah selatan. Unit-unit TKR dan badan perjuangan
tersebar dalam berbagai satuan tempur di seluruh wilayah yang utamanya dihuni
orang Indonesia, khususnya di bagian selatan kota dimana yang merupakan te,mpat
sebagian markas mereka (Smail, 2011:122). Sehingga terdapat zona yang jelas
terpisah di dalam kota, zona Sekutu-Belanda dan zona Indonesia. Namun secara
teoritis, Indonesia masih merupakan satu unit tunggal.
Ini membuat ketegangan di Bandung. Selama
November 1945 ketegangan di Bandung terus meningkat atau meluas antara pihak
Indonesia dengan pihak Sekutu maupun Jepang. Banyak konflik yang terjadi
seperti ada laporan orang Belanda memaksa orang Indinesia menjual makanan
kepada mereka kemudian dari pihak Belanda melaporkan perilaku Indonesia yang
brital dengan menculik orang Eurasia, mengusir dan memboikot orang Eurasia, dan
mengurangi aliran makanan ke kota, Merdeka
(Smail, 2011: 121). Kemudian sering terjadi tembakan yang terdengar di
malam hari di seluruh kota yang merupakan pecahnya perang terbuka yang paling
sengit di Bandung. Selain itu, banyak kecurigaan-kecurigaan dan teror-teror yang
terjadi di pihak Indonesia yang mencurigai ada agen NICA diantara mereka dan
mengkibatkan pembunuhan-pembunuhan yang terjadi. Walaupun tindakan pembunuhan
memiliki alasan yang kuat, namun banyak sekali kasus yang terjadi akibat
kecurigaan yang tidak rasional.
Kondisi
anarkis ini membuat Inggris terhambat dalam menguasai kota Bandung karena
mereka lebih disibukkan untuk menyediakan tempat berlindung bagi orang sipil
Eropa. Namun ini yang membuat militer Sekutu mengabil keputusan untuk
mengosongkan zona yang terlindungi di kawasan pinggir kota sebelah utara dan
membuat negosiasi antara Pemerintah Indonesia.
Negosiasi
pemerintah Indonesia dengan Brigade Ke-37 Inggris dimulai pada 25 November 1945
setelah pertempuran di barikade di jalan menuju Cimahi. Menurut sumber Inggris
(Smail, 2011: 133), Indonesia ‘meminta keringanan pada Komandan Brigade.
Komandan menjawab bahwa barikade harus disingkirkan dari jalan sebelum pukul 26
November 1945 pukul 12.00 atau tindakan tegas harus terus dilakukan.” Berbeda
dengan sumber yang berasal dari pihak Indonesia, khususnya militer Indonesia,
yang menyatakan bahwa pada tanggal 26 November 1945, sekutu meminta kepada kita
(pihak Indonesia) untuk membersihkan semua rintangan-rintangan yang bertebaran
di jalanan Bandung. Walaupun adanya perbedaan pendapat, namun inti dari semua
adalah untuk menghentikan kondisi anarkis di terjadi di Bandung.
Namun pada
keadaan yang tidak kondusif ini jelas bahwa para pemuda sedang tidak mau
mendengarkan siapapun. Keesokan harinya, 27 November 1945, setelah pertemuan
dengan Gubernur Sutarjo, Jenderal McDonald mengeluarkan ultimatum sebagai
berikut (Smail, 2011:133):
1. Pihak
Indonesia harus mengevakuasi Bandung, kawasan utara... jalur kereta api,
sebelum pukul 12.00 tanggal 29 November 1945.
2. Tidak
ada warga sipil yang diberkenankan berada di 200 meter dari posisi Inggris
maupun Jepang.
3. Pihak
Indonesia harus mengevakuasi wilayah sekitar gedung-gedung RAPWI [hotel Savoy
Homan dan Hotel Preanger] di selatan jaliur selatan kereta api.
4. Setiap
laki-laki yang menjaga ayau berada di dekat barikade jalan akan ditembak.
Ultimatum ini
sangat mengejutkan Gubernur dan tentunya menolak permintaan Sekutu. Hal ini
ditunjuk kepada kedua belah pihak ke Jakarta dan pada tanggal 29 November 1945
(Smail, 2011: 134) setelah negosiasi yang dipimpin Amir Syarifuddin, pemerintah
Republik mengumumkan suatu bentuk kompromi: “penduduk kampung” di utara tidak
perlu pindah namun “elemen yang merusak kedamaian” harus pergi dan Inggris akan
dapat menahan siapapun yang membawa senjata, baik orang Indonesia maupun pihak
lainnya. Detail kesepakatannya akan ditentukan bersama oleh Gubernur Sutarjo
dan Jenderal McDonald. Namun setelah perundingan ini terjadi perubahan posisi
Gubernur, Sutarjo digantikan oleh Mr. Datuk Jamin yang lebih cakap secara
politis dan lebih mampu bekerja dalam kondisi sulit pada saat itu.
Sementara
untimatum asli masih berlaku di Bandung, tanggal 28 dan 29 November 1945
sejumlah besar orang Indonesia pindah ke Selatan jalur kereta api dengan
desakan secara kasar—orang yang berlencana ‘merah putih’ diculik dan dianiaya—oleh orang-orang Eropa yang tidak mau mematuhi
aturan dan beberapa prajurit Gurkha,
yang telah mungkin mulai menjalankan rencana pengusiran sistematis. Tentunya
setelah kesepakatan yang dicapai pada tanggal 29 November 1945, ultimatum
ditarik mundur, paling tidak menyangkut besar penghuni kampung biasa (Smail,
2011: 135). Namun pada akhirnya orang Indonesia pindah ke daerah selatan dengan
dipaksa maupun dengan sendirinya akibat wilayah Eropa yang tidak aman dan
kondisi anarkis tetap berlanjut di sekitar bahkan didalam zona terlindungi.
Pada kelanjutannya, pemuda luar wilayah Bandung selatan masuk ke bandung
Selatan untuk berjuang, sedangkan wanita dan anak-anak di wilayah Bandung
Selata berpindah ke pedesaan untuk menempati tempat yang lebih aman.
Pada
bulan Desember 1945 banyak sekali pertempuran atau gerakan-gerakan militer yang
dilakukan oleh pihak Indonesia. Seperti terjadinya pertempuran Balai Besar
Kereta Api, pertempuran di jalan Lengkong. Akan tetapi pada bulan Desember 1945
pula Sekutu mulai membangun kekuatan di Jawa Barat dengan membawa pasukan baru
dan secara bertahap menggerakkan mereka disepanjang jalur suplai yang menuju
Bandung sambil memperkuat kendali atas jalur itu. Di Bandung sendiri mereka
mulai menggunakan pasukan yang baru tiba untuk selatan untuk sementara waktu.
Namun fakta bahwa markas Divisi Hindia Ke-23 dipindahkan ke Bandung pada 16
Februari 1946, bersama dengan persiapan pasukan secara besar-besaran (Smail,
2011: 177). Hal ini mengindikasikan
bahwa Inggris (Sekutu) berniat untuk menguasai wilayah Bandung selatan yang
merupakan rencana jangka panjang Inggris (Sekutu) untuk menguasai keseluruhan
Indonesia dan termasuk Bandung di dalamnya.
Pasukan
Sekutu yang menginginkan menguasai Bandung selatan mengakibatkan perubahan
radikal dalam keseimbangan kekuatan militer di selatan Bandung. Ini dipicu
sejumlah manuver agresif yang dari pihak Indonesia, yakni pertarungan sengit
dengan konvoi di sepanjang jalur antara Bogor dengan Bandung selama lima hari
(Smail, 2011: 178) sejak 10 Maret 1946
yang melibatkan tiga unit Inggris yang berbeda, dua yang terakhir
dikirim untuk menyelamatkan yang pertama. Penyerangan yang terjadi setelah
hampir tiga bulan dimana konvoi dapat bergerak dengan mulus berkat kerja sama
dari TKR/TRI, insiden tersebut kembali menunjukan rentannya posisi Sekutu.
Insiden lain yang penting pada tanggal 19 Maret 1946, ketika sejumlah mortir
Indonesia jatuh di salah satu derah pemukiman orang sipil Eropa dan
menghasilkan sejumlah korban jiwa.
Insiden-insiden
inilah yang menjadi alasan Sekutu mengakhiri pembagian wilayah Bandung, yakni
menguasai keseluruhan Bandung. Mereka siap melakukan hal ini secara paksa dan
telah menyiapkan sebuah operasi militer besar-besaran yang diberi nama “Operation Sam”. Namun seperti biasa
mereka mencoba jalur diplomasi terlebih dahulu, yakni pada tangggal 22 Maret
1946, sekutu memberi tahu Perdana Menteri Sutan Syahrir bahwa operasi akan
dijalankan dan mendesaknya untuk memastikan behwa operasi itu akan menimbulkan
pertempuran dengan mengatur penarikan seluruh unit militer dan orang bersenjata
sedangkan pemerintah sipil dibiarkan dan didorong untuk tetap tinggal di kota
yang dikendalikan oleh Inggris (Sekutu).
Beberapa hari
yang penuh dengan aktivitas diplomasi intens menyusul pengumuman rencana
Inggris. Hari itu juga, saat pemberitahuan rencana operasi militer
besar-besaran Sekutu, 22 Maret 1946, Didi Kartasasmita komandan Komandemen jawa
Barat, dan Syarifuddin Prawiranegara, Wakil menteri Keuangan datang ke bandung
untuk memberi pimpinan sipil dan militer lokal mengenai untimatum Inggris
(Sekutu) dan untuk menyampaikan instruksi Syahrir yang harus diikuti.
Smail
menjelaskan dalam sumbernya menyebutkan walikota (Syamsurijal), komandan divisi
(Nasution) dan kepala seleksi militer MP3 (Sutoko) mendiskusikan masalah ini
dan memutuskan bahwa hal itu harus dibahas secara lebih mendalam bersama Sutan
Syahrir. Keesokan harinya, nasution pun berangkat ke Jakarta meyakinkan untuk
mengikuti strategi diplomasi pemerinyah dalam kasus ini. Peran pemuda dalam
negosiasi mulai terlihat, berbeda pada saat sebelumnya dalam negosiasi dengan
Jenderal McDonald.
Isu penting
saat itu bukanlah mengenai evakuasi pasukan Divisi Ketiga dan badan perjuangan.
Inggris (Sekutu) saat itu telah memiliki kekuatan luar biasa, dan baik nasution
maupun Sutoko tidak ingin membiarkan organisasi masing-masing yang tengah
berkembang hancur begitu saja akibat pertempuran yang sia-sia. Pihak Indonesia
kemudian mengeluarkan suplai dan perlengkapan berharga lainnya dari kota. Akan
tetapi peroalan yang utama adalah mengeluarkan para pemuda bersenjata dari
bandung setenang mungkin, meninggalkan rakyat dan pemerintahan sipil, dengan
pemerintah sipil bertugas mempertahankan keberadaan Republik di tengah kantong
pemukiman Sekutu.
Pada tanggal
23 Maret 1946, Jenderal Hawnthorn, komandan Divisi Ke-23 di Bandung mengumumkan
lewat radio dan pamflet bahwa Bandung selatan akan dibersihkan dari orang-orang
yang bersenjata; pasukan bersenjata harus sudah keluar dari wilayah sebelas
kilometer sebelum tanggal 24 tengah malam untuk mencegah pertumpahan darah; dan
warga sipil diminta untuk tetap tenang dan tidak meninggalkan rumah selama
periode itu.
Ketika
Nasution kembali dari Jakarta pada tanggal 24 pagi, ia mengadakan pertemuan
yang dihadiri perwakilan dari pemerintah sipil, polisi, dan Badan Eksekutif
DPRD keresidenan kota, dan menyampaikan bahwa pemerintah pusat telah memutuskan
untuk mematuhi untimatum Inggris (Sekutu) dan menghindari terjadinya
pertumpahan darah ataupun bentuk konfrontasi lainnya. Ia pun menambahkan badan
militer telah ditugaskan untuk menjalanjkan keputusan tersebut.
Pagi itu
juga, Hawthorn diminta untuk mengundurkan batas waktu hingga sepulih hari, namun
permintaan ini ditolak. Pihak Indonesia pada mengajukan alasan ketika meminta
pengunduran waktu, antara lain sulitnya mengorganisasikan perpindahan dalam
waktu yang begitu singkat, kekhawatiran akan terjadinya insiden bila operasi
dijalankan secara terburu-buru, dan sebagainya. Namun apa yang terpenting
adalah masih tersimpannya suplai dan perlengkapan militer di Bandung selatan.
Akan tetapi ini jugalah yang membuat Hawthorn menolak untuk mengadakan
pengunduran waktu. Nasution menginginkan tambahan waktu untuk membawa semua
itu, sedangkan Hawthorn ingin merampasnya.
Permasalahan
lain, perbedaan sikap dan kepentingan antara kalangan militer dari pihak pemuda
militan dan kalangan sipil dari generasi tua menjadi terekspos. Kelompok pemuda
harus pergi, namun mereka tidak ingin melakukannya. Kelompok generasi tua ingin
tetap bertahan di Bandung bukan karena mereka lebih menyukai kehidupan kota dan
tentunya karena merka pro-Belanda, melainkan merekalah yang paling cocok
menangani urusan kota, khususnya tawar-menawar dan negoisiasi yang diperlukan
dalam mempertahankan Republik di tengah kantong pemukiman asing, (Smail, 2011:
180-181). Akan tetapi akhirnya mereka mau tidak mau harus mengikuti keputusan
Pemerintah Pusat.
Pada pukul
2.30 siang hari itu juga, walikota mamberitahukan kepada rakyat melalui siaran
radio mengenai keputusan Pemerintah Pusat dan mengumumkan bahwa pemerintahan
kota akan tetap bertahan di Bandung. Namun pada sekitar pukul 4 sore, sebuah
pesan diterima dari komandan Divisi Ketiga yang menyatakan bahwa pejabat
pemerintahan kota akan dibakar dan dihancurkan. Usaha merundingkan hal ini
gagal karena komandan divisi tidak bisa ditemukan sedangkan kepala MP3 tidak
bisa mengubah rencana penghancuran yang telah ditetapkan.
Kabar itu pun
menyebar di seluruh kota. Penduduk kota mulai bergerak keluar kota di sepanjang
tiga jalan utama ke arah barat daya, selatan, dan tenggara. Sedangkan pemuda
ditugaskan untuk menghancurkan dan membakar gedung pemerintahan yang dianggap
penting maupun gudang penyimpanan besar untuk mencegah jatuhnya gudang tersebut
ke tangan Sekutu. Malamnya, dilakuakanlah “afscheids-aanval”, suatu serangan
perpisahan berupa serangan umum dan bumi hangus yang sekaligus merupakan acara
pemunduran (Siliwangi, 1968: 94). Pembakaran kota berlangsung besar-besaran,
hingga tengah malam bandung telah kosong dan hanya meninggalkan puing-puing
bangunan yang masih menyala. pembumihangusan kota Bandung ini merupakan langkah
yang tepat, karena kekuatan TRI tidak akan sanggup melawan Sekutu yang berkekuatan
besar.
Akan tetapi
pada kenyataannya, ada saja kelalaian dan pelanggaran dalam menjalankan tugas
tersebut, seperti gagalnya membakar gedung pemerintahan karena bangunannya yang
sulit terbakar dan ketidakpatuhan untuk menghancurkan gedung penyimpanan
melainkan mereka membawa isi gudang penyimpanan ke luar wilayah sebelas
kilometer.
Pada 20 Maret
1946 terjadi serangan Inggris di Tegalega dan masih banyak rakyat sipil dan
pemuda yang tinggal dalam kota. Keesokan paginya. Praktis mereka semua telah pergi.
Zona sebelas kilometer terbentang cukup jauh dari batas kota, dan banyak
penduduk Bandung yang tinggal sementara di kawasan pinggiran antara kota dan
sungai Citarum di selatan. Penghuni asli pada malam harinya atau malam dua
sampai tiga hari kemudian.pada akhir Maret, sekitar setengah juta penduduk
telah meninggalkan kota dan kawasan sekitarnya menuju ke daerah pedesaan
Priangan.
ayo segera bergabung dengan saya di D/E/W/A/P/K
BalasHapushanya dengan minimal deposit 10.000 kalian semua bisa menang uang jutaan rupiah lo
ditunggu apa lagi ayo segera bergabung, dan di coba keberuntungannya
untuk info lebih jelas silahkan di add Whatshapp : +8558778142 terimakasih ya waktunya ^.^