Senin, 07 Mei 2018

Peristiwa Bandung Lautan Api (12 Oktober 1945 – 24 Maret 1946)



Terjadinya peristiwa Bandung Lautan Api diawali dari datangnya Brigade McDonald dari Divisi Hindia ke-23 (Sekutu) pada tanggal 12 Oktober 1945. Hal ini sesuai dengan persetujuan yang telah dicapai antara pihak Sekutu dengan Pemerintah Republik Indonesia. Pendudukan Sekutu di Indonesia dilaksanakan oleh Inggris atas dasar persetujuan “Civil Affairs Agreement” antara Inggris dan Belanda yang mencapai persetujuan dimana Tentara Pendudukan Inggris bertindak sebagai “Agen Belanda” dalam usaha Belanda untuk menguasai kembali Indonesia (Siliwangi, 1968: 87).
(afscheids-aanval--strategi Bumi Hangus, Liputan6.com)


Peristiwa Bandung Lautan Api (12 Oktober 1945 – 24 Maret 1946)
Tentara pun memasuki kota Bandung. Dua batalyon Gurkha berjumlah sekitar 2.000 orang berkonsentrasi di sekitar kawasan pinggiran Bandung utara dan hotel-hotel besar di kawasan orang Eropa di sebelah selatan jalur kereta api. Disisi lain, 1.500 orang pasukan Jepang tersebar di pos-pos yang tersebar di seluruh Kota, khususnya di sekitara batas di jalan-jalan utama dan menjaga sejumlah instalasi dan pmukiman Eurasia di sebelah selatan. Unit-unit TKR dan badan perjuangan tersebar dalam berbagai satuan tempur di seluruh wilayah yang utamanya dihuni orang Indonesia, khususnya di bagian selatan kota dimana yang merupakan te,mpat sebagian markas mereka (Smail, 2011:122). Sehingga terdapat zona yang jelas terpisah di dalam kota, zona Sekutu-Belanda dan zona Indonesia. Namun secara teoritis, Indonesia masih merupakan satu unit tunggal.
 Ini membuat ketegangan di Bandung. Selama November 1945 ketegangan di Bandung terus meningkat atau meluas antara pihak Indonesia dengan pihak Sekutu maupun Jepang. Banyak konflik yang terjadi seperti ada laporan orang Belanda memaksa orang Indinesia menjual makanan kepada mereka kemudian dari pihak Belanda melaporkan perilaku Indonesia yang brital dengan menculik orang Eurasia, mengusir dan memboikot orang Eurasia, dan mengurangi aliran makanan ke kota, Merdeka (Smail, 2011: 121). Kemudian sering terjadi tembakan yang terdengar di malam hari di seluruh kota yang merupakan pecahnya perang terbuka yang paling sengit di Bandung. Selain itu, banyak kecurigaan-kecurigaan dan teror-teror yang terjadi di pihak Indonesia yang mencurigai ada agen NICA diantara mereka dan mengkibatkan pembunuhan-pembunuhan yang terjadi. Walaupun tindakan pembunuhan memiliki alasan yang kuat, namun banyak sekali kasus yang terjadi akibat kecurigaan yang tidak rasional.
Kondisi anarkis ini membuat Inggris terhambat dalam menguasai kota Bandung karena mereka lebih disibukkan untuk menyediakan tempat berlindung bagi orang sipil Eropa. Namun ini yang membuat militer Sekutu mengabil keputusan untuk mengosongkan zona yang terlindungi di kawasan pinggir kota sebelah utara dan membuat negosiasi antara Pemerintah Indonesia.
Negosiasi pemerintah Indonesia dengan Brigade Ke-37 Inggris dimulai pada 25 November 1945 setelah pertempuran di barikade di jalan menuju Cimahi. Menurut sumber Inggris (Smail, 2011: 133), Indonesia ‘meminta keringanan pada Komandan Brigade. Komandan menjawab bahwa barikade harus disingkirkan dari jalan sebelum pukul 26 November 1945 pukul 12.00 atau tindakan tegas harus terus dilakukan.” Berbeda dengan sumber yang berasal dari pihak Indonesia, khususnya militer Indonesia, yang menyatakan bahwa pada tanggal 26 November 1945, sekutu meminta kepada kita (pihak Indonesia) untuk membersihkan semua rintangan-rintangan yang bertebaran di jalanan Bandung. Walaupun adanya perbedaan pendapat, namun inti dari semua adalah untuk menghentikan kondisi anarkis di terjadi di Bandung.
Namun pada keadaan yang tidak kondusif ini jelas bahwa para pemuda sedang tidak mau mendengarkan siapapun. Keesokan harinya, 27 November 1945, setelah pertemuan dengan Gubernur Sutarjo, Jenderal McDonald mengeluarkan ultimatum sebagai berikut (Smail, 2011:133):
1.      Pihak Indonesia harus mengevakuasi Bandung, kawasan utara... jalur kereta api, sebelum pukul 12.00 tanggal 29 November 1945.
2.      Tidak ada warga sipil yang diberkenankan berada di 200 meter dari posisi Inggris maupun Jepang.
3.      Pihak Indonesia harus mengevakuasi wilayah sekitar gedung-gedung RAPWI [hotel Savoy Homan dan Hotel Preanger] di selatan jaliur selatan kereta api.
4.      Setiap laki-laki yang menjaga ayau berada di dekat barikade jalan akan ditembak.
Ultimatum ini sangat mengejutkan Gubernur dan tentunya menolak permintaan Sekutu. Hal ini ditunjuk kepada kedua belah pihak ke Jakarta dan pada tanggal 29 November 1945 (Smail, 2011: 134) setelah negosiasi yang dipimpin Amir Syarifuddin, pemerintah Republik mengumumkan suatu bentuk kompromi: “penduduk kampung” di utara tidak perlu pindah namun “elemen yang merusak kedamaian” harus pergi dan Inggris akan dapat menahan siapapun yang membawa senjata, baik orang Indonesia maupun pihak lainnya. Detail kesepakatannya akan ditentukan bersama oleh Gubernur Sutarjo dan Jenderal McDonald. Namun setelah perundingan ini terjadi perubahan posisi Gubernur, Sutarjo digantikan oleh Mr. Datuk Jamin yang lebih cakap secara politis dan lebih mampu bekerja dalam kondisi sulit pada saat itu.
Sementara untimatum asli masih berlaku di Bandung, tanggal 28 dan 29 November 1945 sejumlah besar orang Indonesia pindah ke Selatan jalur kereta api dengan desakan secara kasar—orang yang berlencana ‘merah putih’ diculik dan dianiaya—oleh   orang-orang Eropa yang tidak mau mematuhi aturan  dan beberapa prajurit Gurkha, yang telah mungkin mulai menjalankan rencana pengusiran sistematis. Tentunya setelah kesepakatan yang dicapai pada tanggal 29 November 1945, ultimatum ditarik mundur, paling tidak menyangkut besar penghuni kampung biasa (Smail, 2011: 135). Namun pada akhirnya orang Indonesia pindah ke daerah selatan dengan dipaksa maupun dengan sendirinya akibat wilayah Eropa yang tidak aman dan kondisi anarkis tetap berlanjut di sekitar bahkan didalam zona terlindungi. Pada kelanjutannya, pemuda luar wilayah Bandung selatan masuk ke bandung Selatan untuk berjuang, sedangkan wanita dan anak-anak di wilayah Bandung Selata berpindah ke pedesaan untuk menempati tempat yang lebih aman.
            Pada bulan Desember 1945 banyak sekali pertempuran atau gerakan-gerakan militer yang dilakukan oleh pihak Indonesia. Seperti terjadinya pertempuran Balai Besar Kereta Api, pertempuran di jalan Lengkong. Akan tetapi pada bulan Desember 1945 pula Sekutu mulai membangun kekuatan di Jawa Barat dengan membawa pasukan baru dan secara bertahap menggerakkan mereka disepanjang jalur suplai yang menuju Bandung sambil memperkuat kendali atas jalur itu. Di Bandung sendiri mereka mulai menggunakan pasukan yang baru tiba untuk selatan untuk sementara waktu. Namun fakta bahwa markas Divisi Hindia Ke-23 dipindahkan ke Bandung pada 16 Februari 1946, bersama dengan persiapan pasukan secara besar-besaran (Smail, 2011: 177). Hal ini  mengindikasikan bahwa Inggris (Sekutu) berniat untuk menguasai wilayah Bandung selatan yang merupakan rencana jangka panjang Inggris (Sekutu) untuk menguasai keseluruhan Indonesia dan termasuk Bandung di dalamnya.
Pasukan Sekutu yang menginginkan menguasai Bandung selatan mengakibatkan perubahan radikal dalam keseimbangan kekuatan militer di selatan Bandung. Ini dipicu sejumlah manuver agresif yang dari pihak Indonesia, yakni pertarungan sengit dengan konvoi di sepanjang jalur antara Bogor dengan Bandung selama lima hari (Smail, 2011: 178) sejak 10 Maret 1946  yang melibatkan tiga unit Inggris yang berbeda, dua yang terakhir dikirim untuk menyelamatkan yang pertama. Penyerangan yang terjadi setelah hampir tiga bulan dimana konvoi dapat bergerak dengan mulus berkat kerja sama dari TKR/TRI, insiden tersebut kembali menunjukan rentannya posisi Sekutu. Insiden lain yang penting pada tanggal 19 Maret 1946, ketika sejumlah mortir Indonesia jatuh di salah satu derah pemukiman orang sipil Eropa dan menghasilkan sejumlah korban jiwa.
Insiden-insiden inilah yang menjadi alasan Sekutu mengakhiri pembagian wilayah Bandung, yakni menguasai keseluruhan Bandung. Mereka siap melakukan hal ini secara paksa dan telah menyiapkan sebuah operasi militer besar-besaran yang diberi nama “Operation Sam”. Namun seperti biasa mereka mencoba jalur diplomasi terlebih dahulu, yakni pada tangggal 22 Maret 1946, sekutu memberi tahu Perdana Menteri Sutan Syahrir bahwa operasi akan dijalankan dan mendesaknya untuk memastikan behwa operasi itu akan menimbulkan pertempuran dengan mengatur penarikan seluruh unit militer dan orang bersenjata sedangkan pemerintah sipil dibiarkan dan didorong untuk tetap tinggal di kota yang dikendalikan oleh Inggris (Sekutu).
Beberapa hari yang penuh dengan aktivitas diplomasi intens menyusul pengumuman rencana Inggris. Hari itu juga, saat pemberitahuan rencana operasi militer besar-besaran Sekutu, 22 Maret 1946, Didi Kartasasmita komandan Komandemen jawa Barat, dan Syarifuddin Prawiranegara, Wakil menteri Keuangan datang ke bandung untuk memberi pimpinan sipil dan militer lokal mengenai untimatum Inggris (Sekutu) dan untuk menyampaikan instruksi Syahrir yang harus diikuti.
Smail menjelaskan dalam sumbernya menyebutkan walikota (Syamsurijal), komandan divisi (Nasution) dan kepala seleksi militer MP3 (Sutoko) mendiskusikan masalah ini dan memutuskan bahwa hal itu harus dibahas secara lebih mendalam bersama Sutan Syahrir. Keesokan harinya, nasution pun berangkat ke Jakarta meyakinkan untuk mengikuti strategi diplomasi pemerinyah dalam kasus ini. Peran pemuda dalam negosiasi mulai terlihat, berbeda pada saat sebelumnya dalam negosiasi dengan Jenderal McDonald.
Isu penting saat itu bukanlah mengenai evakuasi pasukan Divisi Ketiga dan badan perjuangan. Inggris (Sekutu) saat itu telah memiliki kekuatan luar biasa, dan baik nasution maupun Sutoko tidak ingin membiarkan organisasi masing-masing yang tengah berkembang hancur begitu saja akibat pertempuran yang sia-sia. Pihak Indonesia kemudian mengeluarkan suplai dan perlengkapan berharga lainnya dari kota. Akan tetapi peroalan yang utama adalah mengeluarkan para pemuda bersenjata dari bandung setenang mungkin, meninggalkan rakyat dan pemerintahan sipil, dengan pemerintah sipil bertugas mempertahankan keberadaan Republik di tengah kantong pemukiman Sekutu.
Pada tanggal 23 Maret 1946, Jenderal Hawnthorn, komandan Divisi Ke-23 di Bandung mengumumkan lewat radio dan pamflet bahwa Bandung selatan akan dibersihkan dari orang-orang yang bersenjata; pasukan bersenjata harus sudah keluar dari wilayah sebelas kilometer sebelum tanggal 24 tengah malam untuk mencegah pertumpahan darah; dan warga sipil diminta untuk tetap tenang dan tidak meninggalkan rumah selama periode itu.
Ketika Nasution kembali dari Jakarta pada tanggal 24 pagi, ia mengadakan pertemuan yang dihadiri perwakilan dari pemerintah sipil, polisi, dan Badan Eksekutif DPRD keresidenan kota, dan menyampaikan bahwa pemerintah pusat telah memutuskan untuk mematuhi untimatum Inggris (Sekutu) dan menghindari terjadinya pertumpahan darah ataupun bentuk konfrontasi lainnya. Ia pun menambahkan badan militer telah ditugaskan untuk menjalanjkan keputusan tersebut.
Pagi itu juga, Hawthorn diminta untuk mengundurkan batas waktu hingga sepulih hari, namun permintaan ini ditolak. Pihak Indonesia pada mengajukan alasan ketika meminta pengunduran waktu, antara lain sulitnya mengorganisasikan perpindahan dalam waktu yang begitu singkat, kekhawatiran akan terjadinya insiden bila operasi dijalankan secara terburu-buru, dan sebagainya. Namun apa yang terpenting adalah masih tersimpannya suplai dan perlengkapan militer di Bandung selatan. Akan tetapi ini jugalah yang membuat Hawthorn menolak untuk mengadakan pengunduran waktu. Nasution menginginkan tambahan waktu untuk membawa semua itu, sedangkan Hawthorn ingin merampasnya.
Permasalahan lain, perbedaan sikap dan kepentingan antara kalangan militer dari pihak pemuda militan dan kalangan sipil dari generasi tua menjadi terekspos. Kelompok pemuda harus pergi, namun mereka tidak ingin melakukannya. Kelompok generasi tua ingin tetap bertahan di Bandung bukan karena mereka lebih menyukai kehidupan kota dan tentunya karena merka pro-Belanda, melainkan merekalah yang paling cocok menangani urusan kota, khususnya tawar-menawar dan negoisiasi yang diperlukan dalam mempertahankan Republik di tengah kantong pemukiman asing, (Smail, 2011: 180-181). Akan tetapi akhirnya mereka mau tidak mau harus mengikuti keputusan Pemerintah Pusat.
Pada pukul 2.30 siang hari itu juga, walikota mamberitahukan kepada rakyat melalui siaran radio mengenai keputusan Pemerintah Pusat dan mengumumkan bahwa pemerintahan kota akan tetap bertahan di Bandung. Namun pada sekitar pukul 4 sore, sebuah pesan diterima dari komandan Divisi Ketiga yang menyatakan bahwa pejabat pemerintahan kota akan dibakar dan dihancurkan. Usaha merundingkan hal ini gagal karena komandan divisi tidak bisa ditemukan sedangkan kepala MP3 tidak bisa mengubah rencana penghancuran yang telah ditetapkan.
Kabar itu pun menyebar di seluruh kota. Penduduk kota mulai bergerak keluar kota di sepanjang tiga jalan utama ke arah barat daya, selatan, dan tenggara. Sedangkan pemuda ditugaskan untuk menghancurkan dan membakar gedung pemerintahan yang dianggap penting maupun gudang penyimpanan besar untuk mencegah jatuhnya gudang tersebut ke tangan Sekutu. Malamnya, dilakuakanlah “afscheids-aanval”, suatu serangan perpisahan berupa serangan umum dan bumi hangus yang sekaligus merupakan acara pemunduran (Siliwangi, 1968: 94). Pembakaran kota berlangsung besar-besaran, hingga tengah malam bandung telah kosong dan hanya meninggalkan puing-puing bangunan yang masih menyala. pembumihangusan kota Bandung ini merupakan langkah yang tepat, karena kekuatan TRI tidak akan sanggup melawan Sekutu yang berkekuatan besar.
Akan tetapi pada kenyataannya, ada saja kelalaian dan pelanggaran dalam menjalankan tugas tersebut, seperti gagalnya membakar gedung pemerintahan karena bangunannya yang sulit terbakar dan ketidakpatuhan untuk menghancurkan gedung penyimpanan melainkan mereka membawa isi gudang penyimpanan ke luar wilayah sebelas kilometer.
Pada 20 Maret 1946 terjadi serangan Inggris di Tegalega dan masih banyak rakyat sipil dan pemuda yang tinggal dalam kota. Keesokan paginya. Praktis mereka semua telah pergi. Zona sebelas kilometer terbentang cukup jauh dari batas kota, dan banyak penduduk Bandung yang tinggal sementara di kawasan pinggiran antara kota dan sungai Citarum di selatan. Penghuni asli pada malam harinya atau malam dua sampai tiga hari kemudian.pada akhir Maret, sekitar setengah juta penduduk telah meninggalkan kota dan kawasan sekitarnya menuju ke daerah pedesaan Priangan.


1 komentar:

  1. ayo segera bergabung dengan saya di D/E/W/A/P/K
    hanya dengan minimal deposit 10.000 kalian semua bisa menang uang jutaan rupiah lo
    ditunggu apa lagi ayo segera bergabung, dan di coba keberuntungannya
    untuk info lebih jelas silahkan di add Whatshapp : +8558778142 terimakasih ya waktunya ^.^

    BalasHapus